Ada batasan tipis antara mengarahkan anak, dengan memaksakan cita-cita kita ke anak. Hati-hati, pastikan kita tahu bedanya.
Saya percaya, ketika kita menyodorkan berbagai pilihan kegiatan, komunitas, sekolah, jurusan studi, dan sejenisnya kepada anak, utamanya ditujukan untuk perkembangan dan masa depan anak.
Kita ingin anak sebanyak-banyaknya terpapar oleh berbagai jenis kegiatan dan pengalaman yang bisa bermanfaat buat anak. Entah itu les gambar, les musik, sekolah berbasis Montessori, atau apapun yang bisa menstimulasi kekuatan-kekuatan anak, atau bahkan memperkuat bidang-bidang yang anak kurang kuasai. Apalagi jika anak suka, kita pasti tambah senang.
Dalam hal pilah-pilih kegiatan atau sekolah tersebut, nggak jarang disertai alasan tambahan dari orang tua. Misalnya, menyekolahkan atau memberi les anak di tempat tertentu karena dulu kita nggak punya kesempatan yang sama. Kini, kita bisa berikan kesempatan itu, maka kita ingin anak memilikinya. Atau malah, karena orang tua mengalaminya, maka mewajibkan anak mengalaminya juga.
“Dulu saya nggak berkesempatan buat les piano,” maka sekarang anak dimasukkan les piano.
“Dulu ingin les inline skate, tapi nggak diijinin karena orang tua khawatir,” maka sekarang anak dilesin inline skate.
“Orang tua saya banyak anaknya, dulu nggak cukup dananya untuk menyekolahkan ke luar negeri,” maka sekarang kita bercita-cita agar anak harus bisa sekolah di luar negeri.
“Kita keluarga dokter,” maka anak diarahkan untuk menjadi dokter.
Salah nggak, sih?
Menurut Psikolog anak, Alia Mufida, M.Psi, Psikolog, “Itu wajar. Nggak salah sama sekali. Ketika orang tua mampu memfasilitasi anak dengan berbagai variasi kegiatan, itu hal yang ideal.” Fiuhhh, lega, dong! Hahaha.
Lebih lanjut, Mbak Fida menjelaskan, “Menyoal memutuskan pilihan kegiatan atau sekolah untuk anak, itu pun wajar, terutama ketika usia anak belum mampu membuat keputusan sendiri. Otomatis, peran orang tua akan lebih besar dalam mempertimbangkan dan menentukan apa yang sesuai untuk anak.”
“Nanti ketika anak semakin besar dan sudah bisa membuat keputusan, menentukan cita-citanya, ingin kegiatan apa, sekolah atau kuliah di mana dan jurusan apa, pelan-pelan, porsi orang tua dalam memutuskan pun akan semakin menurun,” jelas Mbak Fida.
Lalu, di mana batasan antara ketika orang tua hanya memberi arahan atau malah sudah memaksakan kehendak atau cita-citanya kepada anak?
“Batasannya bisa kita lihat kembali pada diri anak. Kita perlu memastikan bagaimana perasaan anak dalam menjalani setiap proses pencarian minat, bakat, studi dan cita-cita anak: apakah tetap happy, tetap positif, atau mulai banyak negatifnya? Apakah kita sudah terlalu banyak involved atau mendominasi dalam setiap pengambilan keputusan? Atau bahkan menambah tuntutan demi tuntutan?
Ketika batasan menjadi buram antara anak melakukan hal tertentu atas keinginannya, atau atas keinginan orang tua yang dipaksakan, di situlah kita perlu evaluasi kembali,” imbuhnya.
Supaya lebih jelas, mari cek, adakah tanda-tanda kita memaksakan cita-cita ke anak berikut yang kita lakukan kepada anak? Jika ada, belum terlambat untuk tarik rem.
Mendaftarkan anak ke berbagai kursus yang dulu nggak kesampaian untuk kita tempuh
Ini nggak salah selama anak menyukai dan menjalaninya dengan sukacita. Tapi, nggak berarti anak dicekoki les ini itu hingga ia kelelahan juga, ya. Orang tua tetap harus membatasi jumlah dan bobot kegiatan sesuai batasan kemampuan anak, baik secara fisik maupun mental.
Baca juga: 5 Rekomendasi Tempat Kursus Musik Anak untuk Kembangkan Bakatnya!
Menentukan kegiatan atau sekolah tanpa berdiskusi dengan anak
Tahu-tahu, anak sudah punya jadwal baru untuk les Mandarin. Tahu-tahu orang tua sudah daftar ke SMA swasta bergengsi, padahal anak ingin menjajal sekolah negeri. Ketika anak tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, apalagi jika sudah besar, maka bisa saja anak menjalaninya dengan terpaksa sehinga hasilnya tidak memuaskan.
Baca juga: Daftar SMA Negeri Favorit di Jabodetabek
Mulai menetapkan target-target yang wajib dicapai
Tak salah menetapkan target, jika tujuannya untuk memotivasi anak. Namun, ketika target yang diberikan melampaui kemampuan anak, dan memberi konsekuensi pula saat target tak tercapai, orang tua perlu evaluasi kembali.
Ketika dukungan berubah menjadi tuntutan
Ketika: “Jika kamu berusaha keras, pasti ada peluang untuk masuk PTN,” berubah menjadi “Harus lulus PTN ya, dulu papa mama bisa, jadi mestinya kamu bisa!”, di situ orang tua sudah memaksakan cita-citanya ke anak.
Menetapkan jurusan kuliah atau bakal profesi tanpa mendengar pertimbangan anak
“Kita kan keluarga dokter, ya, kamu harus jadi dokter, dong.”
“Musik itu hobi kamu aja, kan? Ingat ya, nanti kuliah tetap jurusan teknik.”
“Kalau sudah lulus, kamu langsung ambil tes CPNS, ya.”
Baca juga: 5 Jurusan Kuliah yang Paling Banyak Diincar Lulusan SMA
Sering terjadi perdebatan antara keinginan orang tua dan keinginan anak
Beberapa anak yang sudah besar mungkin sudah tahu arah minatnya. Tak ingin lagi meneruskan les piano, sebab lebih enjoy membuat konten vlog. Tak ingin ini dan itu, namun orang tua memaksa. Akhirnya anak sering menolak tawaran orang tua, dan terjadi perdebatan.
Anak tampak tertekan
Awalnya enjoy, tapi lama-kelamaan anak jadi kelelahan, bosan, malas, ogah-ogahan, murung atau bahkan mandek total saat menjalani segala tuntutan orang tua. Kalau sudah begini, pertimbangkan untuk stop.
Orang tua memang bertugas memberi pertimbangan dan arahan, namun berikan juga ruang bagi mereka untuk memilih. Biarkan mereka menjalani keinginan, impian dan cita-citanya, bukan memaksakan mereka menjalani cita-cita dan ambisi orang tua. Yuk, bisa, yuk.
Baca juga: Pesan Untuk Anakku yang Punya Cita-cita Menjadi Gamer
Foto: Image by Lifestylememory on Freepik