Sorry, we couldn't find any article matching ''
Plus Minus Menyekolahkan Anak di Boarding School
Apakah itu pesantren, seminari, atau sekolah asrama umum, pasti ada plus minus dari boarding school. Bisa jadi bahan pertimbangan untuk orangtua dan anak.
Buat orangtua yang menyekolahkan anak (atau mungkin masih niat) di boarding school alias sekolah asrama, tentu terkesiap mendengar kasus kematian seorang siswa boarding school berbasis agama di Jawa Tengah. Kita maunya aman-aman saja, ya, kan? Semua lancar sampai lulus. Tapi ternyata dunia nggak seindah itu. Ada beberapa hal yang kemudian membuat orangtua khawatir, apakah anak-anak di sana baik-baik saja? Pada dasarnya semua sekolah, apakah itu boarding school, atau bukan, sama saja. Nggak berarti non-boarding school bebas bully. Namun tentu saja ada perbedaan dari tiap sekolah. So, artikel ini saya tulis sebenarnya untuk orangtua yang baru niat melepas anak menuntut ilmu di boarding school (apakah itu berbasis agama seperti pesantren atau seminari, ataupun sekolah asrama umum). Karena di detik kita menyekolahkan mereka di sana, detik itu juga kita harus siap bahwa kita nggak bisa setiap hari memantau. Sehingga ia harus bisa siap untuk menjaga dirinya sendiri. Kara Handali, M.Psi.,Psikolog berbagi plus minus anak sekolah di boarding school.
Plusnya sekolah di boarding school
- Anak dapat mengembangkan kemandiriannya. Selain tidak mendapatkan bantuan dari orang tua, adanya teman sebaya yang juga melakukan tugas dan tanggung jawab yang serupa dapat memicu motivasi anak untuk melakukan berbagai tugas secara mandiri.
- Anak bisa mengembangkan kemampuannya dalam memecahkan masalah. Apabila tidak dibiasakan sejak kecil, orang tua umumnya menjadi jalan pintas bagi anak untuk menyelesaikan masalah (dengan meminta solusi atau bantuan langsung). Ketika berada jauh dari orang tua, anak dituntut untuk mencari jalan keluar dan solusi secara mandiri.
- Rasa percaya diri anak akan meningkat. Thanks to kemandiriannya. Terlepas dari boarding school atau sekolah biasa, rasa percaya diri tumbuh ketika seseorang mengalami pengalaman berhasil. Ketika anak memiliki pengalaman mampu mengerjakan berbagai hal secara mandiri (dan diberi apresiasi), maka rasa percaya dirinya akan tumbuh.
Minusnya sekolah di boarding school
- Risiko anak merasa kesepian meningkat. Berada di tempat asing dengan larangan untuk bertemu dengan orang terdekat, dalam jangka waktu lama dapat membuat anak merasa kesepian, terutama jika tidak ada sistem atau program yang membantu anak menjalin pertemanan dan membiasakan anak untuk terbuka mengenai pikiran dan perasaannya. Isu kesepian ini merupakan hal yang paling sering dikeluhkan oleh anak-anak yang bersekolah di boarding school.
- Berisiko memberikan dampak negatif pada kesehatan mental anak, khususnya ketika sekolah tidak mengakomodasi perkembangan kesehatan mental dirinya. Seyogyanya sebuah boarding school memiliki atmosfer yang inklusif, program pengembangan emosi, serta adanya akses bagi anak untuk melakukan konsultasi atau konseling.
- Memiliki risiko membatasi wawasan anak dan paparan terhadap keberagaman. Umumnya boarding school memiliki karakteristik khusus, seperti sekolah berlandaskan agama atau kelas sosial tertentu. Anak bertemu dengan orang-orang yang sama, nilai dan norma yang sama dalam jangka waktu yang cukup lama, serta minim kesempatan untuk berjumpa dengan nilai-nilai berbeda yang ada di luar lingkungan sekolah. Hal ini dapat membatasi pola pemikiran anak serta penerimaannya terhadap keberagaman.
Baca juga: Tips Memasukkan Anak ke Pesantren atau Boarding School Menurut Psikolog
Usia tepat masuk sekolah asrama
Menurut Kara Handali, sebenarnya tidak ada ketentuan pasti usia yang tepat untuk melepas anak ke boarding school, namun yang perlu dipertimbangkan adalah anak usia SMP umumnya sedang merasakan gejolak emosi yang intens, seperti misalnya mood berubah drastis, atau sangat emosional tanpa memahami penyebabnya, akibat pubertas. Dalam kondisi ini, lingkungan baru yang asing dan membatasi anak untuk bertemu dengan orang terdekat, dapat membuat anak lebih sulit mengelola emosinya. Pubertas yang umumnya dialami di akhir SD dan awal SMP menjadi masa transisi anak menjadi remaja. Pada masa ini anak mengalami banyak perubahan dan beradaptasi dengan banyak hal baru, baik perubahan dalam dirinya sendiri (meliputi fisik dan emosi) maupun di luar diri (tuntutan pelajaran semakin sulit, tekanan dalam pertemanan). Oleh karena itu, di usia awal SMP anak sangat membutuhkan dukungan orang terdekat, yakni keluarga.
Sementara itu, pada umumnya, (umumnya, lho, ya. Nggak berarti semua anak demikian) gejolak emosi anak usia SMA sudah lebih stabil meskipun masih cenderung naik-turun jika dibandingkan usia dewasa (di sini artinya usia 20 tahun ke atas). Sebagian besar anak usia SMA biasanya sudah lebih memiliki keinginan yang terarah, serta lebih mampu mengambil keputusan dibandingkan usia SMP, namun dengan catatan bahwa anak memang dibiasakan untuk mengambil keputusan oleh orang tua, ya. Sebaliknya, anak yang terbiasa diarahkan untuk mengikuti keputusan orang tua akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang mandiri, terlepas dari berapapun usianya.
Pastikan relasi antara anak dan orangtua hangat
Pandangan anak mengenai dirinya (konsep diri) sangat dipengaruhi oleh relasi yang dibangun dalam keluarga. Anak yang memiliki relasi dekat dan hangat dengan orangtua (ada rasa saling percaya, keterbukaan, komunikasi yang lancar) umumnya memiliki konsep diri yang lebih positif. Anak menjadi lebih mantap menghadapi hal asing karena memiliki keluarga sebagai basecamp yang memberi rasa aman. Dengan kata lain, ketika anak bersekolah di tempat yang asing dan tinggal sendirian jauh dari orang tua, ia akan lebih merasa nyaman dan mampu berkembang lebih optimal. Sebaliknya, relasi yang renggang dengan orang tua justru akan membuat anak semakin kesepian dan merasa tidak diharapkan ketika ia dikirim ke boarding school.
Telaah kembali alasan mengirim anak ke boarding school
Salah satu alasan yang justru dapat menghambat perkembangan anak ialah ketika orangtua mengharapkan bahwa boarding school merupakan ‘solusi jitu memperbaiki moral atau agama’ anak. Misalnya saja ada yang meyakini anak-anak yang dianggap nakal atau berperilaku buruk, sebaiknya dikirim ke boarding school saja agar menjadi ‘anak yang lebih baik’. Alasan ini membentuk konsep yang buruk mengenai boarding school di mata anak. Ia akan menganggap boarding school sebagai sebuah hukuman. Anak yang masuk boarding school dengan pemahaman ini akan merasa terancam selama bersekolah, yang berujung pada memburuknya kesehatan mental. Akibatnya perkembangan akademis maupun sosial-emosionalnya pun menjadi terhambat. Keputusan akhir ada di mommies dan pasangan. Namun begitu, ada baiknya diskusikan keputusan tersebut dengan anak, berapapun usianya. Usahakan keputusan bersekolah di boarding school merupakan keputusan bersama. Mintalah bantuan psikolog jika masih ragu.
Share Article
COMMENTS