Pola Asuh Terbaik VS Terburuk, Apa Saja?

Parenting & Kids

Sisca Christina・04 Jul 2022

detail-thumb

Yuk, mommies hindari pola asuh terburuk, dan berusaha menerapkan pola asuh terbaik yang sudah terbukti berdampak positif bagi tumbuh kembang psikologis anak.

Rasanya kita nggak bisa nggak setuju dengan istilah: jadi orang tua itu nggak ada sekolahnya. Bekal untuk jadi orang tua itu datang secara alami saat anak kita lahir. Bekal lainnya kita dapat dari pola asuh orang tua kita terdahulu, yang kita adopsi saat mengasuh kita waktu kecil. Lainnya lagi? Dari baca-baca artikel atau buku parenting, sharing dengan teman dan komunitas, mengikuti kela-kelas parenting dan mungkin dari hasil konsultasi dengan psikolog anak.

Terkadang dalam perjalanan pengasuhan anak, kita acap ragu: sebenarnya kita sudah menerapkan pola asuh terbaik atau malah yang terburuk, ya? Yuk, coba kroscek, jangan-jangan masih ada yang beberapa gaya pengasuhan kita yang mengarah pada pola asuh terburuk.

Pola Asuh Terbaik

Berikut ini beberapa pola asuh yang dianggap paling membawa dampak yang baik bagi pertumbuhan psikologi anak, dan sering dianjurkan oleh psikolog anak.

Authoritative Parenting (Gentle Parenting)

Gentle parenting terbukti mampu membentuk anak-anak jadi pribadi yang sukacita, mandiri dan percaya diri. Ciri khas gaya pengasuhan ini yaitu terdiri dari empat elemen utama: empati, rasa hormat, pengertian, dan batasan.

Gentle parenting menerapkan pengasuhan yang penuh kasih kepada anak. Namun secara bersamaan juga menerapkan batasan yang konsisten. Konsistensi juga menjadi kunci penting dari gentle parenting.

Penuh kasih bukan berarti lunak dan permisif, namun mendorong disiplin anak dengan cara menetapkan aturan dan batasan yang sesuai dengan usia anak. Orang tua yang menerapkan pola asuh ini mengutamakan hubungan dengan anak. Mereka juga didorong untuk mengungkapkan perasaan mereka. Gentle parenting bertujuan untuk menumbuhkan sifat-sifat positif anak dengan cara mencontohkan perilaku yang mereka harapkan dari anak-anak.

Intuitive parenting

Stephen Caramata, penggagas Intuitive Parenting (IP), mengemukakan bahwa pola asuh ini bertujuan untuk membekali orang tua dengan kepercayaan diri dan bukan dengan kekhawatiran dalam mengasuh anak. Pola asuh ini mengandalkan kepekaan orang tua akan apa yang dibutuhkan anak, dengan cara menyediakan waktu bersama anak untuk berinteraksi dan memberi perhatian. Jadi, pola asuh ini nggak sekadar mengikuti pola asuh yang ada, melainkan berdasarkan intuisi dari orang tua terhadap apa yang baik untuk anak. Sebab biar bagaimanapun, orang tualah yang paling memahami kondisi anak-anak mereka.

Positive parenting

Pola asuh positif adalah hubungan berkesinambungan antara orang tua dan anak yang meliputi mengasuh, mengajar, memimpin, mengkomunikasikan, dan menyediakan kebutuhan anak secara konsisten dan tanpa syarat. Pola asuh ini menghindari kekerasan dalam menghadapi masalah perilaku anak. Sebaliknya, menggunakan interaksi positif untuk mengoreksi perilaku anak. Pola asuh ini menyeimbangkan akan kebutuhan orang tua dan anak, bukan dominan dari salah satunya. Tahu kapan bersikap lembut, namun tahu juga batasan dan aturan, sehingga terbangun relasi positif dan saling menghormati antara orang tua dan anak. Cara mengapresiasi anak dalam pengasuhan ini yaitu dengan melontarkan kalimat pujian yang positif, bukan memberi hadiah-hadiah.

Baca juga: 4 Gaya Pengasuhan dan Dampaknya pada Karakter Anak

Gaya Pengasuhan Terburuk

Mengapa disebut pola asuh terburuk, karena beberapa pola asuh berikut bisa berdampak buruk pada tumbuh kembang psikologis anak, sehingga para ahli menganjurkan untuk menghindarinya.

Helicopter parenting

Sesuai namanya, pola asuh helikopter diibaratkan sebagai orang tua yang mutar terus di sekeliling anak. Menurut Carolyn Daitch, Ph.D., direktur Pusat Perawatan Gangguan Kecemasan di wilayah Detroit dan penulis Anxiety Disorders: The Go-To Guide, pola asuh helikopter adalah gaya pengasuhan orang tua yang terlalu fokus pada anak-anak mereka. Tahu sendiri, kan, sesuatu yang berlebihan itu nggak baik.

Orang tua mengambil terlalu banyak tanggung jawab atas segala hal yang semestinya menjadi tanggung jawab anak-anak. Misalnya, membantu tugas sekolah atau rumah tangga yang sebetulnya bisa anak-anak kerjakan sendiri. Orang tua terlalu terlibat dalam kehidupan anak dan akhirnya jadi terlalu mengontrol, melindungi, dan mengoreksi. Orang tua selalu membayang-bayangi anak saat melakukan kegiatan, dan nggak memberi ruang bagi anak untuk eksplorasi. Akibatnya, anak bisa jadi kurang percaya diri, merasa tak mampu, memiliki kemampuan mengatasi masalah yang rendah, mudah cemas, merasa berhak akan sesuatu secara berlebihan, dan secara keseluruhan life skill-nya tidak berkembang.

Pola asuh permisif

“Biarin ajalah, namanya juga anak-anak,” adalah kalimat sakti dari orang tua permisif. Di satu sisi, mereka cenderung hangat dan sangat menyayangi anaknya. Ini, sih, bagus. Namun sayangnya, nggak dibarengin dengan aturan yang jelas, sehingga anak terlalu bebas dan akhirnya sulit untuk belajar disiplin dan tanggung jawab. Ketika anak berbuat salah, orang tua lemah untuk memberi konsekuensi dan keterusan menoleransi setiap kekeliruan yang anak buat. Ini akibat dari anggapan bahwa anak-anak, ya, tetap anak-anak.

Karena sedikitnya aturan, harapan, dan tuntutan, akibatnya, anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang permisif cenderung punya kesulitan untuk meregulasi dan mengengalikan dirinya sendiri.

Pola asuh otoriter

Kalau kita masih suka membuat aturan yang wajib, kudu, harus diikuti anak tanpa kecuali, no matter what, tanpa mau mendengar pertanyaan, pertimbangan atau keluhan anak, maka kita tergolong orang tua otoriter. Kontrol ada di tangan orang tua. Tugas anak? Ikuti saja! Nggak boleh membantah. Orang tua yang menganut prinsip menghukum ketimbang mendisiplinkan, dan nggak responsif terhadap kebutuhan anak-anak bakal sukses mencetak anak-anak yang nggak bahagia, merasa nggak aman, harga diri rendah, tidak mandiri, rentan punya akademis buruk dan masalah perilaku.

Setelah tahu mana pola asuh terbaik dan terburuk, tentu kita mau meninggalkan yang buruk dan memperkuat yang baik, bukan?

Baca juga: Gaya Pengasuhan Ala Ibunda Maudy Ayunda yang Patut Ditiru