Sosok Betty Anggraeni jadi dikenal di kalangan para guru, tak hanya nasional tapi juga internasional. Pasalnya beliau mendapatkan penghargaan internasional. Yuk, kenalan!
Tidak main-main, Betty Anggraeni, salah satu guru di SMP Cikal Amri Setu, meraih penghargaan International CARE Award sebagai pendidik yang memiliki empati tinggi dalam menghadirkan proses pembelajaran bermakna dengan segala tantangannya di masa pandemi karena berpusat pada kebutuhan anak.
Mommies Daily pun berkesempatan untuk berbincang bersama Ibu Betty untuk membahas pencapaiannya tersebut serta kehidupannya sebagai seorang guru.
BACA JUGA: 10 Tipe Guru Favorit Anak-anak
Hal yang membuat saya ingin menjadi guru adalah karena menurut saya guru itu bisa berperan dalam perkembangan seorang anak, yaitu sebagai fasilitator, model, dan juga teman.
Awalnya hal itu bermula ketika saya bekerja sebagai Chaperone di British International school (BIS). Saya bertugas untuk antar jemput siswa. Di BIS saya pernah berkesempatan beberapa kali mendapat kesempatan menggantikan asisten guru kelas, dan di kesempatan itulah saya melihat langsung proses belajar yang menyenangkan.
Semuanya itu berbeda dengan apa yang saya rasakan di masa saya sekolah dulu. Setelah itulah keinginan saya untuk menjadi guru muncul. Saya ingin bisa memberikan anak-anak lain kesempatan belajar yang menyenangkan.
Saat itu, saya yang hanya lulusan SMA, memutuskan untuk kuliah dari hasil tabungan kerja. Saya kemudian mengambil jurusan sastra Inggris karena ingin menjadi guru Bahasa Inggris. Karena di BIS untuk guru bahasa Inggris hanya bisa WNA, akhirnya saya mencoba mencari pekerjaan sebagai guru di tempat lain.
Setelah mencoba, saya akhirnya mendapat kesempatan mengajar di sebuah TK di dearah Jakarta Barat. Di sana saya mendapatkan mentor yang super kooperatif dan baik, yaitu Ms Evy Junaety Hutusut, yang mengajari saya cara menjadi seorang guru yang tegas tetapi tetap mengajarkan dengan hati, dan bahwa setiap anak itu unik.
Proses belajar secara digital sudah biasa di Cikal, tetapi kami masih ada proses bertemu langsung. Bagi saya guru mempunyai peran ganda, sebagai fasilitator, role model, dan juga teman. Saya mencoba memahami perbedaan karakter dari setiap anak.
Di masa pandemik lalu saya mencoba cari tahu proses belajar seperti apa yang bisa dilakukan secara virtual tapi tetap menyenangkan. Sebisa mungkin saya juga melibatkan anak dalam proses belajar, selalu melakukan refleksi, dan juga meminta feedback kepada siswa tentang proses pembelajaran yang saya lakukan. Tujuannya agar saya juga bisa berkembang dan bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anak di sekolah.
Prooses belajar secara offline dan online tentu ada perbedaan. Sekarang kita semua bisa melakukan pembelajaran secara tatap muka. Kami sebagai guru bisa meraih mereka lebih jauh lagi karena bisa berinteraksi secara langsung.
Di pembelajaran online halangan yang biasa terjadi adalah isu koneksi internet dan akhirnya akan menyebabkan keterlambatan feedback, baik dari guru atau anak itu sendiri. Di saat kami sudah bisa kembali melakukan pertemuan tatap muka, anak dan guru pun kembali harus beradaptasi dengan situasi yang ‘baru’. Kami harus memberikan proses pembelajaran yang juga memastikan kesiapan dan kesehatan mental dalam melakukan pertemuan tatap muka secara langsung di masa pandemik.
Persamaan pembelajaran di saat dan setelah masa pandemik adalah kami sebagai guru harus tetap memberikan pembelajaran yang bisa melibatkan siswa dengan cara refleksi dan feedback serta memberikan diferensiasi dalam pembelajaran karena setiap anak itu unik.
Sebagai seorang pembelajar sepanjang hayat, saya In syaa Allah akan terus belajar agar dapat menjadi tenaga pendidik yang baik dan terus berkembang.
Tiga hal yang harus dimiliki seorang guru adalah:
BACA JUGA: 6 Skill yang Perlu Dimiliki Guru dalam Mengajar Online
Di masa pandemik sebagai seorang guru harus siap bekerja di luar jam kerja kita. Hal itu dikarenakan kebutuhan anak-anak, seperti membutuhkan waktu untuk berani bertanya. Jadi kami harus bisa menyediakan waktu apabila ada pertanyaan dari anak-anak di sekolah.
Namun saya juga memberikan informasi kepada siswa bahwa untuk jam tertentu saya tidak akan bisa memberikan respon langsung karena saya sebagai guru juga mempunyai tanggung jawab yang lain. Apabila ada sesuatu yang penting, mereka bisa langsung telpon saya tanpa harus mengirimkan pesan tertulis.
Jika saya menikah dan mempunyai anak, saya ingin sekali anak saya bebas berekplorasi di usia balita mereka agar mereka bisa bereksperimen langsung tentang dunia ini, tidak mengatakan ‘tidak’ kepada anak sambil tetap mengingatkan akibat dari aksi yang akan mereka lakukan, tidak melarang anak untuk menangis karena mereka membutuhkan itu agar merasa didengar dan meringankan rasa sedih yang dirasakan, dan terus mendampingi anak di saat mereka membutuhkan. Hal yang paling penting adalah mengajarkan nilai Ketuhanan.
Tentunya sebagai pembelajar sepanjang hayat, saya harus terus belajar menjadi guru yang bisa menjadi sebagai teman dan fasilitator untuk mereka dan beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Saya sebenarnya ingin membuat lembaga pendidikan mandiri seperti tempat les atau kursus. Beberapa tahun lalu saya pernah buat satu tempat kursus bernama Fun Learning Zone. In syaa Allah saya akan menabung untuk bisa kembali membuka Fun Learning Zone.
Fun Learning Zone itu adalah tempat les yang saya buat dengan konsep tempat belajar yang menyenangkan, di mana anak-anak bisa eksplorasi untuk pelajaran sekolah dan memberikan rasa percaya diri secara personal.
BACA JUGA: Cerita Para Guru tentang Sulitnya Mengajar di Rumah