Sorry, we couldn't find any article matching ''
Putri Dianita: Penghalang Kesuksesan Kita adalah Diri Kita Sendiri
Putri Dianita percaya bahwa perempuan itu tidak memiliki batas dan bisa sukses, asalkan berani melawan ketakutannya sendiri.
Memulai kariernya dari dunia media, Putri Dianita kini telah jatuh cinta pada industri teknologi, tepatnya fintech. Setelah sempat menjadi PR Manager beberapa produk kecantikan hingga bekerja di Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Putri sekarang menjabat sebagai VP of Communication DANA Indonesia.
Berbincang bersama Mommies Daily, Putri Dianita pun mengungkapkan bahwa dirinya banyak belajar dari sosok sang mama sejak kecil untuk menjadi perempuan yang tidak memiliki batas dan memahami nilai dirinya sendiri.
Intip obrolan Mommies Daily bersama Putri Dianita di bawah ini!
BACA JUGA: Bertengkar di Depan Anak? Boleh Saja, Begini Aturannya Menurut Psikolog
Apa saja tiga hal yang paling kamu suka dari diri kamu?
Pertama aku orang yang resilient dan tahan banting. Kedua aku itu mudah beradaptasi karena mau bekerja di kantor pemerintah yang konvensional, FMCG, di cosmetic industry yang multinasional sampai di start up tech, I think I can adapt well.
Terakhir aku suka diriku yang punya rasa empati tinggi, baik terhadap orang lain maupun pada diri sendiri.
Apa ada pengalaman masa kecil yang membuat kamu punya tiga sifat tadi dan apakah ada andil dari orang tua?
Semuanya adalah adalah pengaruh dari pengasuhan mamaku sejak kecil. Aku dibesarkan oleh single mother. Kedua orang tua aku adalah dokter dan mereka berpisah sejak aku kelas 6 SD. Saat itu mama masih di tahap akhir sekolah spesialisnya jadi kehidupan kami masih bisa dibilang susah.
Dari kecil aku melihat mamaku beda dengan ibu lain. Dia selalu bekerja, bahkan sampai yang mengambil rapor aku itu kalau bukan eyang, ya, pasti ART. Sampai akhirnya aku mengerti kalau apa yang mama lakukan itu untuk kehidupan kami semua. Kalau beliau tidak bekerja sedemikian keras dan ulet, saya pasti tidak akan ada di sini.
Sedangkan sifat mudah beradaptasi itu adalah ajaran mama. Beliau selalu bilang bahwa barrier atau penghalang yang membuat kita tidak bisa itu adalah diri sendiri. It’s all in our mind dan itu namanya self limiting belief. Kamu itu harus bisa. Untuk pekerjaan, mau dimana, ditempa apapun, bosnya seperti apa, ya, kamu harus bisa. Cari celahnya untuk beradaptasi.
Terakhir, mama aku juga mengajarkan ketika kamu marah sama orang, merasa ada di satu situasi yang tidak ideal, coba kamu tempatkan diri di sepatu orang yang membuat kamu resah. Atau ketika kamu berbicara dengan orang yang membuat kamu kesal, coba lihat dari sudut pandang dia. Akhirnya aku jadi terasah dan peka sama perasaan orang lain dan juga perasaan sendiri. Semua sifat itu aku dapatkan dari mamaku.
Punya buku atau film favorit yang akhirnya mengubah cara pandang kamu terhadap suatu hal?
Punya, dong. Aku selalu nonton Little Women versi original. Mungkin aku juga berkaca ke mamaku. Sosok ibu di Little Women itu struggling membesarkan 4 anaknya. Apalagi di zaman itu perempuan masih dianggap kaum marjinal. Namun tokoh utamanya menganggap perempuan itu sama seperti laki-laki. We are strong, we can do this. Aku menonton film itu berkali-kali and it’s still empowering for me.
Kalo buku aku baca To Kill a Mockingbird. Aku suka exploring issues equality, diversity, sampai inclusion. Mirip Little Women, buku fiksi ini mengangkat tentang keberanian, ketidakadilan, ketidaksetaraan, kemiskinan, dan rasisme.
BACA JUGA: Pesan untuk Orang Tua: Jangan Kebablasan Menjadi Teman Anak
Jika kamu kelak menikah dan punya anak, hal apa yang ingin kamu contoh dari orang tua dan apa yang tidak ingin kamu contoh?
Aku masih punya rencana untuk menikah lagi dan punya satu anak perempuan. Mirip mamaku dan aku, kami jadi seperti teman. We talk like almost every thing. Jadi aku mau punya anak perempuan dan hal-hal baik di atas yang diajarkan mamaku pasti akan aku ajarkan ke anakku.
Namun ada hal yang tidak akan aku terapkan. Mamaku itu prinsipnya aku dan dia seperti teman padahal sebenarnya secara psikologis tidak bisa seperti itu juga. Hubungan ibu anak adalah ibu anak. Aku sudah pernah konsultasi dengan psikolog aku. Ada batas dimana kita tidak bisa menjadi teman selayaknya teman.
Mama aku dulu selalu menceritakan semua hal, termasuk ketika dia mau bercerai, ketika dia dekat sama orang atau masalah apapun. Curhatnya benar-benar yang terbuka. Aku yang pada saat itu masih emotionally immature jadi bingung karena tidak sesuai dengan tahap tumbuh kembang aku.
Satu lagi, aku akan mengajarkan sama anak aku bahwa it’s okay to speak up for yourself, it’s okay to say no, it’s okay to protect yourself. Karena dari semuanya yang harus diprioritaskan, sebelum suami, anak, dan hal lain, adalah kita sendiri. Itu hal yang aku pelajari dari hubungan mama dan papa aku.
Ada pesan dari orang tua yang menjadi pegangan hidup kamu?
Investasi terbesar itu adalah pendidikan, dan juga perilaku. Sebab yang bisa menyelamatkan diri kamu sendiri, yang bisa membuat diri kamu berkembang, bahkan membuat kamu sedih hanya diri kamu sendiri. I’am the creator of my reality.
Mama aku bilang sejak kecil kalau dia tidak bisa memberi aku apa-apa karena dia tidak punya apa-apa. Namun yang bisa dia berikan adalah pendidikan. Jadi sejak kecil aku tahu betapa berharganya pendidikan yang baik. Semua itu demi bisa mendapatkan pekerjaan yang baik, kenal dengan orang-orang yang pintar, hingga mendapatkan kesempatan tak terbatas.
Satu lagi, jadilah seorang perempuan yang punya banyak pilihan tanpa tergantung dari pasangan. Semua itu harus karena kemampuan diri sendiri.
Menurut Mbak, bagaimana dunia kerja di Indonesia untuk perempuan?
Sekarang porsi perempuan di jajaran top management sudah jauh lebih besar daripada beberapa tahun sebelumnya. Jadi menurut aku kesempatannya sudah ada. Aku pun sekarang jadi VP of Communication juga tidak dipandang berdasarkan laki-laki atau perempuan. Saat wawancara fokus pada kompetensi yang aku miliki.
Namun, masih sering ditemui beberapa stigma negatif yang diasosiasikan terhadap perempuan. Seperti pakaian yang dikenakan perempuan bisa mendistraksi kompetensinya. Contoh, ketika aku mau presentasi pakai baju sleeveless dan lipstik merah, hal itu bisa menciptakan persepsi berbeda. Padahal aku adalah aku. Tidak ada yang tahu, kan, kalau saat bangun pagi aku merasa senang lalu mau pakai baju sleeveless dan lipstik merah.
Apa tantangan perempuan di dunia kerja yang sering dihadapi?
Tantangan perempuan di dunia kerja itu saat ini sepertinya masih pada persepsi, labeling, norma sosial, dan asosiasi dari orang lain. Seperti perempuan kalo hamil dianggap sudah jadi lamban, perempuan kalo menstruasi tidak bisa berpikir jernih karena sering marah-marah, wanita bekerja sering dianggap tidak mengurus anak, wanita bekerja kalo pulang malam dianggapnya senang-senang padahal siapa tahu dia lembur di kantor, belom sempet makan dan minum. Semua itu memang masalah persepsi.
BACA JUGA: Suara Para Anak dari Ibu Bekerja, Ternyata Penuh Rasa Bangga
Share Article
COMMENTS