Tulisan ini dibuat atas dasar kesesakan pada konstruksi sosial yang mempercayai bahwa perempuan beranak pinak adalah keharusan.
Saya merasa perlu membagikan, sebagai salah satu perempuan yang ingin mempunyai keturunan, saya bisa ikut lantang menyuarakan alasan kenapa banyak juga perempuan yang tak punya mau. Sampai subjek ini menjadi basi, saya akan tetap bersuara.
Photo by Phil Hearing on Unsplash
“Maaf, tidak jadi kutitipkan padamu.”
Katanya, seingatku
Walau aku ragu, apakah benar ada kata maaf di dalam kalimat-NYA
Samar-samar, kubayangkan lagi kejadian malam sialan itu
Apakah suaranya menggelegar, seperti yang digambarkan kitab-kitab suci
Adakah suara robekan langit? Atau justru layaknya bisikan dalam hening yang mematahkan hati?
Perempuan lain bercerita
Bahkan katanya, dia tak mendengar suara apa pun. Tuhan tidak menjelaskan
Tidak bisa saja. Rahimnya tak bisa menenun manusia
Walau beberapa kali dicoba
Walau berbagai ahli sudah menerobos ke dalam sana
Mencari penyebabnya
Perempuan yang satunya
Memang dari kecil sudah berkata padaku “Aku tidak mau.”
Lalu ia melenggang pergi mengejar petualangannya, sesekali mengabariku
Kadang dari hutan, kadang dari tempatnya bekerja. Sesekali dari tempat yang musimnya empat. Alamat rumahnya tak pernah tetap. Lain dengan keinginannya.
Ada lagi yang merasa
Hidupnya justru tak akan sempurna
Jika tidak selibat, dengan Tuhannya saja. Maka tentu, jadi Ibu bagi darah daging, tak akan muncul dalam agendanya.
Tuhan yang sama,
yang minta maaf padaku di malam itu (Minta maaf tidak ya?)
Jadi,
Apa Tuhan begitu sibuknya
Sampai lupa menjadikan sebagian dari kita Ibu?
Atau memang kita ini yang terlalu sok tahu
Mengerucutkan fungsi yang mulia itu?
Baca juga: 6 Alasan Salah Untuk Memiliki Anak