Menangis setelah berhubungan seks atau disebut juga dysphoria pasca-coital adalah kondisi yang ternyata cukup umum. Apa penyebabnya?
Menangis setelah berhubungan seks atau dysphoria pasca-coital adalah perasaan sedih, terganggu, atau cemas yang dapat muncul tiba-tiba dan seringkali tidak dapat dijelaskan. Penelitian menunjukkan tristesse pasca-coital atau dysphoria pasca-coital bukan kondisi yang langka. Faktanya dysphoria pasca-coital bahkan dialami sejumlah besar orang dewasa yang sehat secara seksual.
Apakah kondisi ini sulit diatasi? Tenang, Mommies. Jika Mommies atau orang-orang dekat Mommies ada yang mengalami ini, konseling, terapi, dan kadang-kadang obat-obatan yang diresepkan dapat membantu mengelola dysphoria pasca-coital.
Menurut sebuah survei, 46% wanita pernah menangis setelah berhubungan seks setidaknya sekali dalam hidup mereka. Studi lain pada pria menemukan bahwa 41% dari 1.635 peserta mengaku pernah mengalami dysphoria pasca-coital di beberapa titik dalam kehidupan mereka, sementara 3,1% pria mengalaminya secara berkala. Meskipun banyak pria mengalami dysphoria pasca-coital, penelitian telah menemukan bahwa wanita 2,87 kali lebih mungkin mengalaminya.
Lanjutkan baca Mommis untuk tahu segala hal tentang dysphoria pasca-coital plus 6 kemungkinan penyebab seseorang mengalaminya.
1. Depresi
Mereka yang mengalami depresi lebih mungkin mengalami dysphoria pasca-coital atau tristesse pasca-coital. Jika Anda mengalami gejala depresi, pertimbangkan terapi dengan praktisi kesehatan mental, bersama dengan obat yang diresepkan, jika perlu. Ini dapat membantu Anda berdamai dengan rasa khawatir sehingga pada akhirnya dapat bantu mencegah Anda mengalaminya.
Baca juga: Kenali Perbedaan Stress, Cemas dan Depresi
2. Kecemasan
Menangis adalah respon umum terhadap kecemasan, dan menangis setelah berhubungan seks dapat menjadi respon terhadap pelepasan ketegangan fisik atau kecemasan terhadap aktivitas/ performa seks Anda. Sebuah penelitian menemukan bahwa kecemasan tentang performa seksual mempengaruhi sekitar 6-16% wanita dan 9-25% pria. Belum ditemukan bentuk pengobatan yang paling efektif, meskipun terapi perilaku kognitif dan pelatihan dengan teknik mindfulness dapat membantu.
3. Memori buruk
Hubungan seksual dan orgasme biasanya sepaket dan semestinya membuat kita bahagia sekaligus rapuh. Nah, kerapuhan ini yang bisa memicu tangis jika seseorang memiliki kenangan buruk terhadap hubungan seks dan trauma. Seseorang bahkan mungkin tidak menyadari kenangan seperti itu sampai pemicunya terjadi. Mereka yang selamat dari peristiwa pelecehan dalam bentuk apa pun dapat memperoleh bantuan konselor berpengalaman.
Photo by Gadiel Lazcano on Unsplash
4. Ketidaknyamanan fisik
Nyeri fisik juga dapat menyebabkan seseorang menangis setelah berhubungan seks. Dyspareunia adalah istilah medis untuk rasa sakit saat berhubungan seks. Kondisi ini memengaruhi sekitar 7,5% wanita berusia 16-74 selama terjadi penetrasi vagina. Rasa sakit mungkin berasal dari fisik atau psikologis.
Beberapa penyebab fisik dari jenis ketidaknyamanan ini meliputi:
• nyeri kronis di sekitar vulva dan labia
• kondisi kandung kemih
• kejang otot
• jaringan parut
• penyakit radang panggul
• efek menopause.
Ada beberapa opsi pengobatan yang efektif didasarkan pada penentuan penyebab rasa sakit yaitu:
• krim steroid, untuk jaringan parut
• perubahan pola makan dan obat-obatan, untuk atasi masalah kandung kemih
• terapi seperti pijat dan meditasi, untuk masalah kejang otot.
5. Masalah hormonal
Orgasme menyebabkan turunnya kadar dopamin dan oksitosin, hormon-hormon yang menyebabkan munculnya perasaan senang. Penurunan hormon-hormon ini dianggap dapat memunculkan dysphoria pasca-coital.
6. Masalah dengan hubungan
Menangis setelah berhubungan seks belum tentu merupakan tanda bahwa hubungan Anda dan pasangan bermasalah, tetapi ini bisa menjadi faktornya. Bagi banyak pasangan, cara terbaik untuk menanganinya adalah dengan bicara dari hati ke hati. Cari waktu terbaik untuk mengungkapkan perasaan terdalam satu sama lain. Saling membuka diri dapat membantu memperdalam rasa percaya dan menyatukan pasangan.
Baca juga: Menangis Itu Penting Untuk Kesehatan Mental
Saling memberikan dukungan dan memperhatikan juga dapat meyakinkan kedua pasangan bahwa episode dysphoria pasca-coital ini bukan cerminan dari hubungan mereka, namun jika dirasa perlu menjalani konseling pernikahan, jangan ragu melakukannya.