Menjadi Ibu Tidak Membuat Saya Berhenti…

Self

Ficky Yusrini・23 Dec 2021

detail-thumb

Menjadi ibu tidak membuat saya berhenti melakukan banyak hal. Termasuk tujuh hal ini di dalam hidup. Dan memang sebaiknya jangan berhenti :).

Di awal menikah dulu, punya anak tidak ada dalam benak saya. Saya dan suami sedang meniti karier dari tangga terbawah, yang sedang berat-beratnya, sekaligus seru-serunya. Masih banyak mimpi yang belum tercapai. Mimpi sekolah lagi, bertualang, mencoba berbagai tantangan baru tanpa memikirkan jarak yang terbentang. Terbang sebebas merpati.

Sampai akhirnya, pada suatu dini hari, saya tertegun menatap dua garis biru di tangan, sementara suami tinggal berbeda pulau. Butuh waktu agak lama untuk bisa menata hati menyambut kehamilan yang akan segera mengubah hidup saya dengan drastis. Sejenak, saya merasa telepak kaki tak menapak bumi.

Ada saat-saat ketika saya merasa menjadi ibu seolah-olah telah menyedot semua segi kehidupan. Saya tidak lagi punya waktu untuk apa pun, bahkan untuk diri sendiri. Kami bahkan belum sempat pergi berbulan madu dan menikmati indahnya perkawinan hanya berdua saja.

Namun, sekian belas tahun menjadi seorang ibu, pada akhirnya saya sadar, menjadi Ibu adalah sebuah perjalanan yang bisa dinikmati  Di mana dalam perjalanan, ada hal yang perlu disesuaikan atau dipertahankan.

Baca juga: Perang dengan Diri Sendiri, Antara Menjadi Ibu atau Menjadi Manusia

Berkarier

Photo by Magnet.me on Unsplash

Di antara begadang mengurus bayi, menemukan ART yang ya…sedikit di bawah standar yang penting situasi aman terkendali, bekerja kantoran tetap bisa jalan. Bahkan semakin menyenangkan. Ibarat mau naik kelas, saat ujian semakin sulit, skill kita justru bertambah. Kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan menentukan skala prioritas -demi bisa punya waktu lebih buat anak- malah jadi bertambah. Berkarier jadi lebih punya tujuan dan target yang jelas, karena punya tanggungan. Belum lagi, wawasan jadi lebih luas karena setelah jadi ibu belajar ilmu kesehatan, nutrisi, laktasi, parenting, pendidikan, dan sebagainya, yang secara tidak langsung turut mendukung pekerjaan. Jujur, tangga karier saya malah beranjak lebih cepat sejak saya punya anak.

Menjalin Persahabatan

Photo by Gaelle Marcel on Unsplash

Teman datang dan pergi. Ada masanya, ketika sangat sibuk antara waktu di kantor dan rumah, saya kehilangan banyak waktu bersosialisasi dengan teman. Saya mengorbankan waktu-waktu hang out, nonton bioskop atau sekadar menikmati konser musik. Tapi persahabatan tidak sepenuhnya menghilang, sebab setelah kehadiran anak, muncul pula sahabat-sahabat baru. Dari sesama Mama Mama penjemput sekolah, teman playdate, komunitas parenting, maupun relasi dari pekerjaan yang bergeser topiknya ke soal urusan anak. Teman yang menghilang, tak perlu disesali karena semua ada timing-nya sendiri.

Baca juga: Memang Apa yang Salah dengan Menjadi Ibu Rumah Tangga?

Memprioritaskan Waktu Untuk Diri Sendiri

Photo by Icons8 Team on Unsplash

Sewaktu anak masih balita, boro-boro bisa me time. Ke kamar mandi saja bisa-bisanya digondelin. Saya harus menguasai ilmu mandi kilat. Bagi orang yang tidak punya support system keluarga besar seperti saya, ART tak sepenuhnya bisa diandalkan sehingga saya harus betul-betul mengelola waktu dengan baik. Saya ingat, dulu sampai-sampai saya tidak punya waktu merawat dan menyisir rambut sendiri, harus salon yang melakukan, sebab ternyata perawatan di rumah jauh lebih sulit, hahaha….

Tapi ternyata semua itu ada waktunya. Semakin anak beranjak besar, semua berubah. Anak bahkan bisa diajak kompromi menemani ibunya, olahraga, ketemuan teman, mengikuti workshop-workshop hobi, dan sebagainya.

Tetap Akrab Sama Ibu

Saya ingin tetap memiliki hubungan yang akrab sama Ibu karena saya merasa, Ibu, lah tempat saya bisa meminta masukan ketika saya akhirnya menjalani peran sebagai seorang ibu. Perbedaan pasti ada, karena kami menjadi ibu di zaman yang berbeda, namun saya merasa pengalaman ibu yang sedikit banyak membuat perjalanan saya sebagai seorang ibu terasa lebih mudah.

Memiliki anak yang sekarang tumbuh remaja dengan kesibukan yang kadang nggak mau diganggu oleh ibunya, tak jarang membuat saya rindu dengan masa-masa anak usia di bawah 10 tahun. Masa ketika saya adalah dunianya. Saya rindu itu. Dan ini membuat saya sadar, bahwa ibu saya juga pasti rindu dengan kami, anak-anaknya. Rindu diajak ngobrol, rindu ditanya kabar, rindu bertemu terlebih masa pandemi membuat sulit.

Pertanyaannya sekarang, dalam satu hari seberapa banyak kita menghabiskan waktu untuk ibu? Sekadar menyapa dan mengucapkan kangen, sayang atau terima kasih. Sebelum terlambat, yuk sempatkan menyapa ibu dan tetap menjaga #AkrabSamaIbu seperti campaign yang saat ini dimiliki oleh XL.

Saat ini sedang ramai fitur Add Yours di IG Story dengan tema posting chat terakhir bersama ibu, ikutan yuk, sebagai salah satu cara sederhana untuk membantu kita mengingat kembali seberapa dekat hubungan kita dengan ibu. Gerakan sederhana untuk mengingatkan bahwa kita semua adalah anak dari seorang Ibu, kita semua tidak dapat lepas dari figur seorang Ibu, terlepas apakah itu secara biologis atau emosional.

Dengan ini XL mengajak kita semua untuk lebih intens lagi berkomunikasi atau sekadar menanyakan kabar  Ibu kita agar sampai kapan pun kita tetap bisa #AkrabSamaIbu.

 

Menjadi Kekasih yang Tidak Membosankan

Photo by Hillshire Farm on Unsplash

Menjadi ibu sering membuat kita lupa merawat kehidupan asmara dengan pasangan. Kami nyaris tidak punya waktu berdua saja. Jika ingin ke bioskop atau ke resto, salah satu harus jagain anak di rumah. Belum lagi, saat kami sama-sama capek, emosi jadi lebih sensitif. Saya merasa suami tak cukup hands on dalam membantu mengurus anak, sementara suami berpikir, segala yang ia lakukan yang menurutnya sudah maksimal tak pernah cukup di mata saya. Alhasil, jadi sering uring-uringan. Masa-masa bulan madu yang kami bayangkan, semakin jauh dari cita-cita.

Tapi untunglah, lagi-lagi semua ada masanya. Saat kami sama-sama tersadar, mungkin jalannya memang harus begitu, butuh kedua pihak sama-sama menurunkan ekspektasi, hubungan kami pun membaik. Semakin banyak pelajaran dan kesulitan yang kami lalui bersama, bonding kami justru semakin kuat.

Menjadi Pribadi yang Lebih Baik

Photo by Hillshire Farm on Unsplash

Kehadiran anak menuntut saya berubah. Dari hal sederhana, saat saya ingin anak tidak kebanyakan nonton TV, maka ibunya dulu yang harus ‘puasa’ TV. Saat saya ingin anak mengurangi waktu gadget, ibunya yang harus memberi contoh untuk tidak memegang gadget di depan anak. Saat saya ingin anak mengenal ritual ibadah, ibunya gimana? Semua kebaikan yang ingin saya ajarkan ke anak, harus lebih dulu saya lakukan. Tuntutan itu membuat saya yang harus berusaha mendidik diri saya menjadi pribadi yang lebih baik.

Membangun Mimpi yang baru

Photo by Alvaro Reyes on Unsplash

Saya kadang merasa iri, bertemu teman yang sekarang sudah lanjut S2 di Cambridge, lalu S3 di Harvard. Atau, teman yang buku karyanya jadi best seller, atau teman yang sudah bertualang ke lima benua, atau sudah menjadi eksekutif di perusahaan global. Banyak mimpi yang hilang, yang tidak lagi bisa saya raih. Tapi, tidak juga. Sebab, saya jadi punya mimpi-mimpi yang baru, yang membuat saya bersemangat untuk mewujudkannya. Setiap orang bisa bahagia dengan standarnya masing-masing.

Sesulit apa pun kehidupan membesarkan anak, pada akhirnya… all iz well. Semua akan baik-baik saja. Dan menjadi ibu adalah hal terbaik yang pernah saya alami.

Selamat Hari Ibu!