Review Film The Starling, Pentingnya Komunikasi dengan Pasangan Selepas Kepergian Anak

Infant

RachelKaloh・08 Oct 2021

detail-thumb

Film The Starling mengajarkanbahwa ketika anak harus pergi lebih dulu meninggalkan kita, hubungan kita sebagai suami dan istri tetap perlu dipertahankan.

Beberapa waktu lalu trailer The Starling ini nongol di timeline Instagram saya. Kelihatannya, sih, bagus, ya. Setelah akhirnya tayang di Netflix, saya pun langsung nonton. Dibintangi oleh Melissa McCarthy, Chris O’Dowd, dan Kevin Kline, film ini mengisahkan tentang hubungan suami dan istri selepas kepergian anaknya akibat Sudden Infant Death Syndrome (SIDS). 

Baca juga: SIDS atau Sindrom Kematian Mendadak pada Bayi: Fakta dan Cara Meminimalkan Risikonya

Berhubung sudah kebiasaan lihat acting McCarthy di film komedi, ketika nonton film bergenre drama dan ceritanya mengharukan ini, jadinya tetap terasa ringan dan menghibur. Yuk, langsung aja kita bahas.

Pentingnya komunikasi dengan pasangan selepas kepergian anak

Lily (Melissa McCarthy) dan Jack (Chris O’Dowd) adalah sepasang suami istri yang sedang trauma karena kehilangan anaknya yang masih bayi. Namun, keduanya menjalani kehidupan secara terpisah, Lily tetap berada di rumah dan bekerja, sementara Jack harus menetap di sebuah pusat rehabilitasi mental untuk menjalani terapi. Padahal, keduanya sama-sama trauma. Lily tidak pernah absen ke kantor tetapi jiwanya tidak di situ, cenderung linglung. Sedangkan Jack, dihantui rasa bersalah sampai nyaris bunuh diri. Dari film yang menceritakan bagaimana akhirnya pasangan ini “sembuh”, kita bisa belajar bahwa komunikasi adalah landasan utama bagi pasangan untuk bisa saling memahami satu sama lain. 

Pentingnya memahami proses berduka dan menjalaninya

Kehidupan Lily berubah ketika ia bertemu dengan Larry (Kevin Kline), seorang mantan psikiater yang kini menjalani perannya sebagai dokter hewan. Lily memang tidak to the point menyatakan ia butuh terapi, tetapi hubungan yang ia jalani dengan Larry perlahan-lahan membantunya melewati proses duka. Dari obrolan yang berlangsung, Lily jadi paham bahwa berduka itu ada prosesnya, dari Denial, Anger, Bargaining, Depression, hingga akhirnya Acceptance. 

Baca juga: Ada Orang Terdekat Ingin Bunuh Diri? Lakukan 6 Hal Ini

Isu mental yang bisa timbul paska-berduka

Jack dianggap membutuhkan bantuan profesional karena sempat mencoba bunuh diri. Padahal, Lily tidak bisa dibilang “baik-baik saja” karena dirinya sendiri juga trauma. Pekerjaannya tidak ada yang beres, malah bikin masalah. Ia pun masih kesulitan untuk menerima kepergian anaknya: cenderung emosional dan mudah marah dalam setiap keadaan yang ia temui. Hal ini akibat proses duka yang masih dalam tahap anger

Mengangkat stigma masyarakat terhadap sebuah terapi

Larry berkali-kali menolak untuk mengistilahkan percakapannya dengan Lily sebagai terapi. Hal ini terjadi karena stigma masyarakat terhadap terapi yang cenderung dianggap tidak membantu. Berbagai scene ketika Jack sedang di pusat rehabilitasi pun menggambarkan dengan jelas bahwa yang namanya terapi hanyalah momen di mana para ahli (dokter, psikolog maupun psikiater) bertanya pada pasien, “Bagaima kabarmu?”, “Sudah minum obat?”. Bahkan Larry menegaskan dengan kalimat, “If we were doing that, I’d just say, “Sorry our time is up, take this pill!” Buat saya yang awam dengan terapi saja, scene ini terasa dalam. 

Burung jalak yang awalnya jadi ancaman, berubah menjadi pelipur lara

Awalnya juga saya bertanya-tanya, kenapa kok burung jalak (The Starling) yang jadi judul film ini, ya? Ternyata, kalau kita memerhatikan dengan seksama, sepanjang film digambarkan bahwa Lily sangat merasa terganggu dengan kunjungan si burung jalak ini di pekarangan rumahnya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melawan sampai memasang perangkap supaya burung itu mati. Tetapi, ketika akhirnya berhasil menangkap burung jalak itu dalam keadaan sekarat, Lily malah berbalik; merasa bersalah dan mati-matian ingin menyelamatkan burung jalak tersebut. Makin tersentuh, lah, ketika ternyata kaos kaki anaknya disimpan oleh si burung di sarangnya. Penonton pun secara perlahan mulai dibuat paham, kenapa Larry akhirnya lebih memilih menyembuhkan binatang, daripada manusia. Saat fokus merawat binatang dengan kasih sayang, sesungguhnya saat itu juga kita sedang menjalani terapi bagi diri sendiri.

Buat Mommies yang penasaran, cus tonton di Netflix!

Baca juga: Balita Meninggal Karena Sepsis, Bagaimana Gejalanya Pada Anak?