Toxic relationship bukan sekadar tidak pernah merasa bahagia di dalam sebuah hubungan. Bila semua tanda ini kamu alami, saatnya mencari bantuan.
Toxic relationship atau hubungan beracun bisa terjadi di manapun dan apapun jenis hubungannya. Dalam keluarga, hubungan beracun ini bisa terjadi antara orangtua dengan anak, sesama anak (kakak-beradik), bahkan kedua orangtua itu sendiri (suami-istri). Di luar keluarga, toxic relationship bisa terjadi antara sepupu maupun kerabat dekat di luar keluarga inti, sahabat, hubungan romantis (pacar), serta antara atasan dan bawahan maupun rekan kerja.
Seperti yang dikutip di Greatmind, penulis buku Toxic People, Dr Lillian Glass menjelaskan bahwa toxic relationship adalah hubungan apapun antara orang-orang di mana mereka tidak saling dukung. Di dalamnya ada konflik di mana yang satu berusaha menghancurkan yang lain; ada persaingan, rasa tidak hormat; dan kurangnya kekompakan.
Bagaimana mengetahui bahwa kita berada di dalam sebuah hubungan yang toxic? Baca terus, ya!
Lebih sering merasa sengsara daripada bahagia
Dengan kata lain, momen negatif lebih banyak dari momen positif. Namun, bukan sekadar tidak merasa bahagia di dalam sebuah hubungan, ya. Dalam sebuah hubungan, misalnya hubungan antara suami dan istri, yang lazim, ketika salah satu merasa tidak bahagia maka keduanya mungkin saja akan mencari cara supaya bisa kembali saling membahagiakan satu sama lain. Namun, pada hubungan beracun, si pelaku toxic bahkan tidak berpikir ke arah perbaikan, karena menganggap tidak ada yang salah dari perbuatannya tersebut. Sementara, pihak korban merasa sengsara.
Tidak sadar menjadi bucin
Sayangnya, hal ini dianggap sangat umum (baca: wajar) ketika berada dalam toxic relationship. Ingat Yoo Nabi di Nevertheless, kan? Kalau jadi dia, kita pun belum tentu akan sadar betapa bucinnya kita saat menjalani hubungan tersebut. Karena di kacamata kita, hubungan tersebut berlandaskan cinta. Akibatnya, kita jadi lebih mencintai orang lain dibandingkan diri sendiri.
Sering meragukan dan menyalahkan diri sendiri
Ketika saya bertanya kepada orang dekat yang pernah mengalami toxic relationship, hal apa, sih, yang membuatnya sadar bahwa ia berada di dalam hubungan beracun, jawabnya:
“He was the one who cheated on me (and for a long time I let it happened), but I kept asking myself what's wrong with me.”
Dengan kata lain, dalam sebuah hubungan yang toxic biasanya si pelaku alias si orang toxic tersebut bisa membuat korban menyalahkan dirinya sendiri. Nggak hanya dalam hubungan suami istri, di tengah keluarga juga bisa. Sesederhana ketika anggota keluarga lain meragukan keinginan kita. Kalimat-kalimat seperti; “Halaah, kaya bisa aja kamu begitu!”, “Kamu kan orangnya penyakitan!”, “Jangan, deh, ntar kamu malah nyusahin!”, sangat ajaib, lho, karena bisa membuat kita ragu sama diri sendiri. Padahal, orang lain yang nggak toxic pasti akan mendukung. Akibatnya dalam jangka panjang, kita akan kesulitan melihat sisi positif dari diri sendiri.
Tidak berdaya melawan
Kalau Mommies nonton Sex Education season 3, hubungan yang toxic di serial ini justru terjadi bukan antara pasangan suami dan istri maupun anak-anak muda yang pacaran, tetapi dialami oleh mantan kepala sekolah Moordale, Michael Groff. Ia dikisahkan memiliki seorang kakak yang sangat toxic. Namun, selama ini Groff hanya bisa berdiam diri, tidak berdaya untuk melawannya, karena ia sendiri juga baru saja menyadari kalau tingkah laku kakak laki-lakinya yang sangat destruktif tersebut sebetulnya tidak normal. Kenapa demikian? Karena Groff sendiri tidak punya referensi hubungan yang sehat (antara kakak dan adik) itu seperti apa. Akibatnya, ia terima saja apapun perlakuan buruk/beracun yang kakaknya lakukan.
Apa yang bisa kita lakukan ketika berada di hubungan yang toxic?
Dari poin-poin di atas, mungkin terkesan masih wajar bila ternyata sedang kita alami. Namun, kita juga perlu memahami seberapa jauh “racun” ini bisa memengaruhi kehidupan kita. Memang tidak mudah, tapi, semua orang berhak bahagia, termasuk diri kita sendiri. Meski orang yang toxic adalah orang terdekat dalam kehidupan kita, bukan artinya bisa dianggap wajar. Tidak ada satupun perlakuan negatif (yang terus menerus dilakukan) yang bisa dianggap sebagai perlakuan wajar. Apalagi bila perlakuan tersebut sampai merusak mental dan fisik (tubuh) kita.
Mengutip pesan dari Psikiater dr. Jiemi Ardian ketika diri kita merasa perlu pertolongan,
“Mencari pertolongan itu bukan tanda kelemahan, sebaliknya butuh kekuatan dan kesadaran untuk menyadari keterbatasan diri sendiri dan mencari pertolongan.”
Baca juga: Toxic Relationship: Ciri-ciri dan Cara Mengakhirinya
Photo by Jessica Flavia on Unsplash