Parental Compassion Fatigue, Ketika Orang Tua Merasa Burnout dengan Perannya

New Parents

gitalarasw・27 Sep 2021

detail-thumb

Dengan stres akibat pandemi COVID-19, beberapa orang tua mengalami Parental Compassion Fatigue. Berikut gejala, penyebab, dan bagaimana cara mengatasinya.

Kini, dengan adanya pandemi COVID-19, banyak orang tua yang mengalami gelombang kecemasan dan stres. Sebuah survei yang dilakukan American Psychological Association mengungkapkan, hampir 50% orang tua dengan anak-anak di bawah usia 18 tahun, menjadi lebih stres dibanding sebelum pandemi dimulai. Selain itu, 31% di antaranya mengaku memiliki masalah mental setelahnya.

Sebuah studi terpisah juga menemukan fakta bahwa sekitar 28% ibu dan 13% ayah mengalami burnout akibat pandemi COVID-19. Para orang tua yang burnout ini diketahui merasa terjebak dan kehilangan empatinya secara perlahan. Perasaan tersebut, menurut para peneliti, bisa menjadi tanda compassion fatigue. Mari pahami lebih jauh tentang kondisi ini.

Gejala

ilustrasi brain fog

Dua tanda utama dari Parental Compassion Fatigue adalah kelelahan emosional dan merasa jauh dari perasaan anak-anak Mommies. “Orang tua dengan kondisi ini biasanya kurang sabar menghadapi stressor dan akhirnya itu menguasai mereka,” kata Nina Kaiser, Ph.D, psikolog anak di Sans Fransisco, dilansir dari Parents.com. Sebagai contoh, menenangkan anak yang sedang tantrum akan terasa seperti lari maraton yang tak ada ujungnya.

Sementara itu, menurut Clarissa Simon, ahli kesehatan di Lurie Children’s Hospital, menjadi apatis terhadap kebutuhan dan penderitaan anak juga menjadi tanda umum dari parental compassion fatigue.

Gejala lainnya meliputi:

  • Kecemasan
  • Perubahan mood mendadak
  • Perubahan selera makan
  • Menjauh dari orang terdekat
  • Merasa putus asa
  • Insomnia
  • Kesulitan tidur
  • Kelalahan
  • Mudah marah
  • Penyebab

    [caption id="attachment_50381" align="aligncenter" width="468"] Gambar dari sini[/caption]

    Compassion fatigue biasanya dipicu oleh trauma. Ketika mengalami kesulitan finansial, isolasi, kehilangan orang terdekat, atau khawatir terkena penyakit berbahaya, sistem saraf tubuh kita akan bereaksi. Kara Hoppe, ahli psikoterapi sekaligus pengarang buku Baby Bomb: A Relationship Survival Guide for New Parents, mengungkapkan bahwa tubuh akan memasuki mode fight or flight dan ini dapat menyebabkan kelelahan.

    “Ketika sistem saraf tidak bisa tenang, kita menjadi sangat waspada dan selalu khawatir dengan bahaya,” kata Hoppe. Sindrom stres berkepanjangan tersebut dapat membuat berpikir jernih, memecahkan masalah, dan peduli dengan orang lain, menjadi aktivitas yang terasa sangat berat.

    Mereka yang mengalami Parental Compassion Fatigue kerap merasa menjadi orang tua yang buruk. Namun, menurut Hopper, penting untuk mengetahui bahwa kondisi tersebut tidak muncul karena hilangnya rasa cinta kepada anak-anak, tetapi berkaitan dengan trauma. Untuk bisa mengatasinya, Mommies perlu merasa aman, sehingga trauma mesti diakhiri.

    Cara mengatasi Parental Compassion Fatigue

    Compassion fatigue dapat meredupkan harapan dan membuat perubahan tampak  mustahil. Namun, ketika merasa sangat lelah dan hidup seperti berada di luar kendali, ada beberapa langkah yang bisa diambil para orang tua untuk mengatasinya.

    Self-care

    Sediakan waktu untuk melakukan yoga, makan malam bersama teman, atau hobi setelah selesai bekerja dan mengurus anak. Jika Mommies merupakan orang tua baru, saat anak tertidur letakkan dia di boks bayi, kemudian mandi untuk menyegarkan tubuh dan pikiran. Intinya, ambil setiap kesempatan untuk memberikan ruang bagi diri sendiri.

    Menurut para psikolog, sesi perawatan diri kecil ini sama sekali bukan perbaikan total untuk mengatasi Parental Compassion Fatigue. Namun, melakukan self-care dapat mengubah perasaan Mommies menjadi lebih bahagia.

    Latih rasa ingin tahu

    Para ilmuwan menemukan fakta bahwa salah satu jenis empati, yang dikenal dengan “empati afektif” dapat meningkatkan risiko compassion fatigue. Empati afektif adalah “merasakan” perasaan orang lain seolah itu miliknya sendiri.

    Menurut para ahli, dibanding “mengambil” emosi orang lain, sebaiknya latih rasa ingin tahu. Misalnya, saat anak sedang sedih, daripada Mommies berusaha simpati dengan ikut sedih juga, ada baiknya coba cari tahu mengapa ia seperti itu. Cara ini bisa mengurangi stres dan kecemasan.

    Welas asih

    Sebuah studi mengungkapkan bahwa sikap welas asih bisa menurunkan risiko compassion fatigue. Kristin Neff, Ph.D, psikolog, merekomendasikan Mommies untuk bicara seperti teman kepada Si Kecil. Misalnya, Mommies bisa menenangkan anak dengan mengatakan: “Aku tahu ini masa yang sulit”, atau sebutkan jenis emosi yang dirasakan untuk mengurangi rasa sakit.

    Selain itu, journaling dan memeluk orang terdekat juga bisa membantu menumbuhkan sikap welas asih.

    Meminta bantuan

    Meminta bantuan bisa jadi hal yang sulit, terutama ketika orang-orang di dekat Mommies juga sedang tidak dalam kondisi yang baik. Namun, mendukung satu sama lain merupakan hal penting. Oleh sebab itu, dr. Kaiser merekomendasikan untuuk bergabung dan berdiskusi dengan orang tua lain yang mengalami hal serupa. Bisa dengan mendengarkan podcast, menonton Youtube, atau bergabung di sebuah forum. Tentu saja, berbicara dengan psikolog atau terapis juga dapat membantu Mommies.

    BACA JUGA:

    Memahami Parental Burnout dan Cara Mengatasinya

    Dessy Ilsanty: Kesejahteraan Diri Sendiri Perlu Diperhatikan, Bukan Artinya Kita Egois!