Kekhawatiran orangtua anak berkebutuhan khusus sebenarnya wajar saja. Yang penting adalah nggak menjadikannya hambatan dalam membantu ABK hidup optimal.
Memiliki anak berkebutuhan khusus memang challenging. Jujur, ketika melihat teman-teman sebaya anak saya, terlintas sekelumit perasaan “seandainya anakku seperti mereka”, tentu hidupnya akan baik-baik saja. Semua akan terasa lebih mudah. Bukan, ini bukan perasaan yang saya piara lama-lama, lalu kemudian membuat saya menyesali keadaan. Karena, bagaimanapun banyak, kok, yang saya syukuri dari kondisi anak saya. Gangguan tumbuh kembangnya tergolong sangat ringan, meski masih membutuhkan beberapa terapi. Namun begitu, sama dengan yang lainnya, menjadi orangtua anak berkebutuhan khusus itu dipastikan memiliki rasa cemas dan kekhawatiran yang muncul nyaris tiap hari. Khawatir dan cemasnya banyak, terutama, nih, menyangkut masa depan, ketika nanti tiba saatnya orangtuanya, tak lagi bisa mendampingi mereka. Berikut ini jeritan hati, alias kekhawatiran orangtua anak berkebutuhan khusus.
Baca juga: Edukasi Seks Untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Bagaimana nanti anak saya yang autis ini mampu untuk hidup mandiri ke depannya? Bukan hanya sekadar mandiri melakukan rutinitas hidup, seperti makan, mandi, atau sekolah, tapi bisakah ia nanti mandiri cari kerja, menghidupi dirinya sendiri.
Akankah saya bisa memaksimalkan potensi dirinya? Ada kalanya sebagai orangtua anak berkebutuhan khusus mengalami kebingungan, apa yang harus dilakukan demi menggali potensi yang ada pada anak. Ke mana kami harus cari bantuan? Siapa yang bisa kami minta sarannya?
Bisakah ia diterima di tengah masyarakat? Terkadang dari sisi appearance saja, bisa jadi anak-anak berkebutuhan khusus itu berbeda dari orang kebanyakan. Ia akan stands out sendiri di tengah-tengah. Terutama untuk anak-anak dengan gangguan tumbuh kembang yang lumayan berat, seringkali keterampilan sosialnya terbatas. Akankah masyarakat mau menerima keterbatasannya ini dengan tidak menganggapnya orang aneh?
Akankah ia jadi sasaran bully? Bagaimana cara menghindarinya? Kita hidup di masyarakat yang serba dinamis, datang dari berbagai latar belakang budaya, dan pondasi pendidikan yang berbeda. Nggak sedikit orang yang menganggap bully adalah hal biasa dan bersikap abai terhadap perilaku tersebut. Anak berkebutuhan khusus mayoritas rentan bully, terutama bila hidup di tengah masyarakat yang nggak siap melihat perbedaan yang ada.
Di mana nanti anak berkebutuhan khusus sekolah mulai dari TK, SD, hingga SMA, bahkan kuliah? Bagaimana kita bisa tahu, sekolah tersebut cocok untuk anak dan mampu menggali potensi dirinya. Bukan cuma itu, bisakah teman-teman sekolahnya menerima segala kelebihan dan kekurangannya sebagai anak berkebutuhan khusus, mengingat nggak semua anak disiapkan untuk menerima berbagai perbedaan?
Apakah fasilitas dan layanan publik mampu melayani orang-orang berkebutuhan khusus dengan mumpuni? Kemudahan dan keamanan di transportasi publik misalnya, belum tentu bisa menjamin anak-anak berkebutuhan khusus. Ini mungkin PR pemerintah, ya.
Adakah nanti yang mau berjodoh dengan anak saya? Ya, kita tahu, ya, anak-anak berkebutuhan khusus biasanya punya kemampuan verbal dan komunikasi yang terbatas. Apakah nanti bisa menyampaikan apa yang ia rasakan ketika tertarik dengan lawan jenisnya? Terlebih lagi, adakah yang tertarik dengannya? Bagaimana pun ketika anak kita terlihat ‘berbeda’ belum tentu ada yang mau, ya, kan? Semua orang maunya yang ‘bagus-bagus’ saja. Itu sudah hukum alam.
Baca juga: Menyiapkan Masa Depan Anak Berkebutuhan Khusus, Mulai Dari Mana?
Mungkin masih banyak kekhawatiran lain yang dirasakan orangtua anak berkebutuhan khusus. Mommies bisa menambahkannya di kolom komentar, ya. Wajar, kok, memiliki kekhawatiran. Yang penting, kita nggak hanya berkutat di kekhawatiran tersebut saja. Bersama pasangan, harus dicari, didiskusikan, dan dilakukan solusinya demi membantu anak-anak berkebutuhan khusus menjalani hidupnya di dunia dengan optimal.