Pada dasarnya ketika menghadapi remaja keras kepala, orangtua juga harus membuka diri, membuka hati, dan menahan diri untuk perang debat. Ini triknya.
Siapa di sini yang sering hot-hotnya berdebat sama si remaja? Selain sering elus-elus dada, oles-oles EO peppermint di area kepala juga rutin dilakukan, pertanda pusing, bagaimana, sih, menghadapi pemikiran anak yang tampak sebagai remaja keras kepala di mata kita.
Kalau menurut Ellen Rome, MD, MPH, adolescent medicine specialist asal klinik Cleveland Amerika Serikat, masa remaja sebenarnya memang masa yang sulit. Antara usia 8 hingga 12 tahun merupakan periode perkembangan yang nggak hanya dengan signifikan mengubah mereka secara fisik, tetapi juga secara psikologis. Sehingga sangat wajar kalau mereka mempertanyakan segala hal, termasuk aturan-aturan yang kita buat. Oh, well, they’re not our baby anymore. They’re on their way to adulthood mommies. Relakan. Hahaha...
Menurut Ellen, sebenarnya jika anak kita, tuh, punya sikap ‘keras kepala’ dan berkemauan keras ada untungnya, terutama jika punya potensi sebagai pemimpin. Tinggal kitanya, nih, bisa nggak mengembangkan EQnya supaya sikap keras kepalanya lebih menguntungkan dirinya. Jadi apa, sih, yang harus kita lakukan dalam menghadapi remaja keras kepala? Berikut ini tipsnya, supaya selain bikin hati kita adem, tapi juga memberikan manfaat dari sikap keras kepalanya tersebut.
Baca juga: Lakukan Cara Ini Untuk Mengelola Emosi Anak yang Hobi Menangis
Seringkali, nih, kalau sudah menemukan statement ini, kebanyakan mommies akan menjawab, “Duh, masa iya, sih, gue nggak kenal anak sendiri?” Well, nyatanya banyak, kok, orangtua yang belum fasih mengenali anak, terutama anak remaja, ya. Coba, deh, tanyakan pada diri sendiri, bukan hanya siapa sahabatnya, apa musik favoritnya, tapi lebih kepada hal-hal apa, sih, yang bikin dia merasa malu? Apa keluhan terbesar anak saya tentang keluarga kami? Apa satu pencapaian yang membuat anak saya paling bangga? Percaya, deh, kalau dia sudah jawab, mommies bisa terkaget-kaget sendiri.
Meski, ya, terkadang buat kita masalahnya sepele banget. Tapi ternyata itu big deal buat dirinya. Pahami perasaan yang sedang ia rasakan saat itu, ketika mommies menghadapinya. Jadi dia nggak merasa mommies nggak memperdulikan perasaannya.
Inget banget, kalau orangtua zaman dulu, yang banyak diapresiasi adalah hasil akhirnya. Ketika posisi kita ada di ranking 3 besar, baru dipuji. Padahal proses menuju ke posisi itu yang seharusnya jauh lebih dihargai. Untuk itu, penting bagi anak mendengar ekspresi apresiasi kita terhadap usahanya. Misalnya saja, kita berterima kasih padanya karena tidak gampang menyerah, serta memuji sikapnya yang selalu positif. Itu sudah bisa membuat anak lebih percaya diri dan terdorong untuk bersikap baik.
Acara ngeyel-ngeyelan, alias debat-debatan, atau ngotot-ngototan mempertahankan pendapat pasti akan selalu ada. Kita berikan mereka pilihan yang menurut kita baik, tapi anak malah memilih yang lain, di luar opsi yang kita berikan. Supaya hati nggak cepat panas, dan kepala berasap, sortir acara debatnya. Ada kalanya kita juga harus lebih fleksibel. Contoh kecil saja, kita nggak perlu lelah berdebat dengan pilihan bajunya ketika mengunjungi keluarga. Selama tidak melanggar norma dan masih dalam ketentuan yang kita sepakati, cobalah untuk bersikap santai. Ngapain, sih, capek-capek berdebat. Kita emosi, dianya cemberut. Hindari mengkritik pedas semua-mua pilihannya.
Ternyata, oh, ternyata, saat anak menginjak masa remaja, frekuensi ngobrol dengan orangtua memang secara signifikan akan berkurang. Tapi bukan berarti kita kemudian nggak bisa ngobrol sama dia lagi. Hanya saja, waktu-waktu ngobrol itu menjadi di bawah kendali si remaja. Perhatikan waktu-waktu dia ingin ngobrol. Sebisa mungkin tidak menunda ketika ia terlihat ingin menyampaikan sesuatu. Usahakan untuk selalu memberikan pemahaman padanya, bahwa kita selalu ada untuk menampung keluh kesahnya. Memang tricky, tapi bisa, kok, kita perhatikan.
Nyaris semua orang tidak suka dikritik. Apalagi kalau dilakukan tanpa perasaan, ya, kan? Nggak terkecuali anak remaja, di usia-usia segini, kalau langsung dikritik, dia malah bisa tantrum bahkan langsung menutup diri sekalian. Kitanya, deh, yang rugi. Akan sangat baik kalau ketika kita ingin mengkritik, balut dengan saran-saran. Meski gemes melihat ‘kesotoyan’ si remaja keras kepala, saran yang disampaikan dengan kepala dingin dan berdasarkan fakta, akan jauh bisa diterima, lho.
Baca juga: 4 Gaya Pengasuhan dan Dampaknya Pada Anak
Mau pas makan malam, sarapan pagi, atau di saat weekend, cobalah untuk meluangkan waktu untuk ngobrol ringan saja sama anak remaja. Jadikan itu sebagai rutinitas, meski hanya 30 menit, itu juga sudah cukup. Rutinitas ini bisa membuat kita terhubung kembali dengan anak remaja. Jadi acara debat dan ngotot-ngototan bisa diminimalkan. Kalau bisa nggak sambil lirik-lirik grup whatsapp, ya.
Image by Freepik