Sorry, we couldn't find any article matching ''
Belajar dari Skandal Zara, Mari Bijak Sikapi Fitur Close Friend Instagram
Tanpa bermaksud menghakimi, bisa ditarik pelajaran dari kasus ini tentang bagaimana sebaiknya menyikapi fitur close friend.
Ikut miris dengan viralnya video dan foto mesra artis muda Adhisty Zara (18) dan Niko Al Hakim (27). Asal mulanya bersumber dari posting-an di akun lain milik Zara, yang dibagikan lewat fitur teman terdekat (close friend). Yang jelas, video pribadi dari stories IG ke close friend itu bocor ke publik sejak awal agustus lalu.
Baik kita sebagai pribadi, maupun sebagai orang tua yang berperan mengedukasi anak kita, ada baiknya menyikapi kasus ini dengan lebih meningkatkan kesadaran akan hal-hal terkait postingan digital dan keamanan siber. Hal-hal tersebut, antara lain:
Photo by Christian Wiediger on Unsplash
Bukan Jalur Bebas
Kita sering lengah dan menganggap, dengan memanfaatkan fitur berbagi di close friend, artinya kita bisa lebih bebas untuk sharing apa saja. Toh, mereka orang-orang yang sudah tersaring dan masuk inner circle kita. Mereka sudah kenal keluarga, pasangan, tahu sifat kita luar dalam (mungkin), sehingga kita merasa nyaman menjadi diri sendiri tanpa ada tuntutan harus jaim. Anggaplah curhat dan membagi kabar kita ke sahabat, biar tidak perlu japri satu per satu.
Nah, di sinilah ‘jebakannya’. Namanya platform digital, akan meninggalkan jejak selamanya. Segala konten digital, baik itu foto, video, teks, sifatnya sangat mudah disebarkan. Sekali terjadi ‘kerusakan’ (artinya sekali bocor), tidak bisa lagi di-undo. Jadi, mau itu WAG, WA japri, apalagi media sosial, tidak ada yang namanya jalur privat.
Label close friend atau fitur privasi sekalipun memang bisa mengurangi dampak negatif, tapi tidak bisa menjadi jaminan kerahasiaan. Kalau mau rahasia, ya jangan posting!
‘Kutukan’ Popularitas
Banyak benefit yang bisa diperoleh saat seseorang memiliki popularitas. Apa pun yang kita lakukan bisa memengaruhi orang lain. Segala produk yang kita pakai, bisa menarik orang lain untuk ikut mengenakan produk serupa. Berbisnis juga lebih mudah, karena publisitas sudah diraih. Namun demikian, sisi negatifnya juga sama kuat. Semakin tinggi popularitas, makin tinggi juga risikonya. Salah ngomong, bisa dihujat para fans dan hater sedunia.
Buat yang follower-nya sedikit dan ‘rakyat jelata’, tidak ada yang peduli kita mau posting apa pun; faedah maupun nirfaedah. Tapi, buat para ‘sultan-gram’, posting selfie nggak jelas di story saja bisa ditonton jutaan, apalagi posting yang aneh-aneh. Sasaran empuk untuk disikat. Kecuali, niatnya memang sengaja cari sensasi.
There is No Such Thing as ‘Close Friend’
How come? Bukannya saya skeptis, tapi memang begitulah adanya. Pernah kita berpikir, close friend kita juga punya lingkar teman dekat yang lain, temannya teman juga punya close friend lain. Di Indonesia yang budayanya guyub, tidak individualis, kita tidak bisa menuntut teman untuk menjaga kerahasiaan pribadi kita.
Pengalaman pribadi, dulu, di kantor lama, sering kejadian, sharing sebuah ‘rahasia hidup’ ke satu teman itu artinya kita sudah siap untuk membiarkan satu kantor tahu. Iya, sebab, si satu orang ini punya teman dekat lain, temannya punya teman dekat lain juga, yang jika dirunut terhubung dengan orang satu kantor. Ujung-ujungnya, kolega satu kantor sebetulnya adalah satu lingkaran close friend.
Itu baru ‘bisik-bisik’ masalah remeh yang tidak ter-posting secara digital. Apalagi jika bicara ‘bisik-bisik’ digital, skalanya pasti akan lebih besar lagi. There is no such thing as close friend in digital. Untuk posting-an yang bersifat digital, chat WA sekalipun, pastikan kontennya aman untuk dilihat seluruh dunia.
Mengendalikan Hasrat
Sharing tidak bisa dipisahkan dari hasrat. Terbiasa mendapat like, komentar, viral, memancing hasrat kita untuk semakin sering posting. Awalnya mungkin hal-hal receh, selfie sampai eneg, aktivitas sehari-hari, lama-lama kita jadi kehilangan kepekaan pada hal-hal pribadi, mana yang sebaiknya tidak perlu di-share, baik itu ke close friend sekalipun. Sudah menjadi aktivitas refleks bawah sadar. Ini yang sinyal bahaya. Kita jadi tidak bisa mengerem hasrat untuk sharing. Obatnya, sesekali perlu unplug dan puasa sharing, lalu latihan berefleksi.
Setiap orang butuh close friend yang bisa menjadi tempat curhat, dan hasrat untuk curhat ini adalah hasrat yang manusiawi, sebab kita makhluk sosial. Tapi, curhat ada tempatnya. Stories media sosial bukanlah tempat yang tepat.
Hasrat sharing yang tidak bisa dikendalikan ini juga berbahaya bagi kesehatan mental kita. Sebab, akhirnya kita akan menggantungkan validasi dari orang lain, dari jumlah like dan komentar, alih-alih menguatkan karakter pribadi. Sekalinya kepentok masalah, akan susah untuk bounce back. Seperti kasus Zara, sayang banget, sampai akhirnya ia harus ‘menghilangkan’ akun IG, yang sudah mendapat jutaan follower. Reputasi yang dibangun susah payah, tersiram seketika.
Baca juga: Kesehatan Mental Remaja Semakin Memburuk Karena Social Media
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS