Sorry, we couldn't find any article matching ''
Cara Menyampaikan Kabar Duka ke Anak
Bagaimana cara menyampaikan kabar duka ke anak? Apakah ia mengerti tentang kematian? Dan apakah Si Kecil menyadari sepenuhnya saat menghadapi momen berduka?
Dalam beberapa minggu terakhir, di tengah situasi pandemi, banyak kabar duka yang sampai ke telinga kita. Kabar kehilangan tersebut datang dari orang asing di sosial media, saudara, teman, bahkan mungkin keluarga kita sendiri. Irma Gustiana A, M.Psi, psikolog anak dan keluarga, mengungkapkan bahwa dalam ilmu psikologi, perasaan berduka atau kehilangan karena kematian dikenal dengan istilah “grief”.
Dalam pemaparan yang lebih luas, Irma menyampaikan bahwa duka cita atau grief adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih dan kesepian yang menyertai disaat kehilangan orang yang kita cintai (Santrock 2004 ; 272). Sementara Stewart (1988 : 605) menyatakan bahwa “grief” adalah perasaan duka cita karena orang yang dicintai meninggal.
Menghadapi hal yang menyedihkan bukanlah hal mudah, tidak hanya untuk orang dewasa tetapi juga anak-anak. Selain menenangkan diri sendiri, peran kita pun bertambah, yaitu harus menyampaikan kabar duka tersebut kepada Si Kecil. Bagaimana cara menyampaikan kabar duka ke anak? Apakah ia mengerti tentang kematian? Dan apakah Si Kecil akan menyadari sepenuhnya saat menghadapi momen berduka?
Berikut tips menyampaikan kabar duka ke anak
Anak dan rasa duka
Rizqina P. Ardiwijaya, M.Psi, psikolog anak dari Rumah Mekar Azlia dan Rumah Dandelion, menjelaskan bahwa sebenarnya anak memahami suasana duka di sekitarnya. Mereka sadar akan perubahan yang terjadi. Misalnya, saat anggota keluarga meninggal, Si Kecil ngeh dengan konsep “yang tadinya ada menjadi tidak ada”. Namun, cara mereka menerima kabar kehilangan ini bisa berbeda-beda, tergantung dengan perkembangan kognitif mereka.
Untuk anak-anak di bawah usia 2 tahun, mereka belum mengerti konsep meninggal. Anak-anak ini hanya tahu bahwa si A, B, atau C, tidak akan bersama mereka lagi. “Jadi, hanya perpisahannya yang mereka rasakan,” ujar Rizqina. Ada kemungkinan anak akan terus mencari orang tersebut sehingga Mommies harus mengatakan berulang kali bahwa si A/B/C sudah meninggal.
Di sisi lain, anak-anak prasekolah sudah bisa menerima istilah meninggal, tetapi bagi mereka itu bukan hal permanen. Mereka masih berpikir bahwa orang yang meninggal hanya pergi sementara dan bisa kembali lagi suatu saat. “Tidak apa kalau pemahaman mereka masih seperti itu, tapi seiring berjalannya waktu, beri tahu anak kalau orang yang sudah meninggal akan pergi selamanya dan tidak bisa kembali,” kata psikolog lulusan Universitas Indonesia ini.
Sementara itu, pada anak usia sekolah dan sepuluh tahun ke atas, mereka biasanya sudah mengerti bahwa orang meninggal akan pergi selamanya.
Respons-respons yang ditunjukkan anak saat mendengar kabar duka juga cukup beragam. Ada yang langsung menangis, ada yang delay (baru merasa kehilangan beberapa hari setelahnya). Beberapa anak juga ada yang sulit tidur, mengalami keluhan fisik, marah, hingga menarik diri.
Namun, menurut Rizqina, respon yang paling ekstrem adalah ketika anak mengalami regresi. Misalnya, anak tadinya sudah bisa berjalan, tetapi karena memiliki duka yang mendalam, dia kembali bertingkah seperti bayi dan kemampuan berjalannya hilang. “Semakin tinggi kedekatan atau attachment dengan orang yang meninggal, makin dalam pula grief yang dialami anak,” tuturnya.
[caption id="attachment_109222" align="aligncenter" width="615"] Sumber: freepik.com/freepik[/caption]
Menyampaikan kabar duka ke anak
Sebelum menyampaikan kabar duka ke anak, Mommies harus menilai kemampuan diri sendiri. Pastikan sudah siap untuk membahas berita ini ke Si Kecil. Jika tidak bisa, Mommies boleh meminta bantuan orang lain yang dipercaya dan dirasa mampu menyampaikan dengan cara yang baik.
Pilihan lainnya, Mommies bisa menunggu sampai perasaan sudah tenang baru berbicara kepada anak. “Karena bagaimana pun juga, kalau kitanya belum kuat dan masih sedih, ya akan sulit nantinya. Nantinya di depan anak malah menangis dan tidak terkontrol sehingga menimbulkan trauma lain bagi anak. Ia pun merasa situasinya menyeramkan,” papar Rizqina.
Jika sudah merasa yakin dan siap, langkah pertama yang harus dilakukan adalah berbicara dengan jujur. Katakan siapa yang meninggal dan apa penyebabnya. Rizqina menekankan pentingnya menggunakan istilah yang sebenarnya, yaitu meninggal. Ia melihat, selama ini banyak orang dewasa yang mengaburkan kata meninggal, misalnya dengan mengatakan “ayah sudah tidur” atau “nenek sudah tenang dan beristirahat”, dan sebagainya.
“Masalahnya, kalau disampaikan dengan cara seperti itu, kita nggak tau imajinasi anak akan mengarah ke mana. Jadi, katakan sejujurnya saja dengan istilah yang tepat,” pesan Rizqina.
Setelah itu Mommies bisa menjelaskan lebih lanjut tentang meninggal, bisa memasukkan nilai-nilai agama bahwa orang yang meninggal akan dikubur, ke akhirat dan bertemu Tuhan. Bisa juga dengan menerangkan dari sisi sains.
Apabila Si Kecil menangis, Mommies bisa memeluknya. Jika Mommies ingin menangis bersama dengannya juga tidak apa asalkan masih terkontrol. Sebab, menahan perasaan juga tidak baik.
BACA JUGA: Catat! 8 Tanda Anda Butuh Psikolog
Untuk anak di bawah enam tahun, mungkin MEREKA masih sulit untuk mengungkapkan emosinya. Dia tidak tahu apa nama dari perasaan tidak nyaman yang dirasakannya akibat kehilangan ini. Tugas orang dewasa adalah memberitahunya bahwa perasaan tersebut adalah rasa sedih akibat ditinggal orang tersayang. Dengan begitu, anak pun bisa mendeskripsikan perasaannya dengan baik ke depannya. Cara ini juga secara tidak langsung membantu kita untuk memahami Si Kecil.
Terakhir, setelah menyampaikan kabar duka, Mommies bisa menenangkan anak dengan memberi tahu bahwa semua akan baik-baik saja ke depannya. Katakan kepada Si Kecil: “Walaupun [sebut nama yang meninggal] sudah meninggal dan tidak bersama-sama kita lagi, tapi masih ada Mama di sini. Kalau sedih nggak apa-apa, kita lalui ini bareng-bareng”.
Pastikan pesan menenangkan ini disampaikan dan dapat ditangkap dengan baik oleh anak ya, Mommies. “Jadi anak semacam di-briefing mengenai apa yang akan mereka hadapi ke depannya sehingga anak secara tidak langsung juga menyiapkan diri,” pungkas Rizqina.
Anak butuh diberitahu apa yang akan ia alami setelah ditinggalkan oleh orang tersebut dan perbedaan kondisi yang akan dihadapi di kemudian hari. Ini dilakukan agar anak dapat mempersiapkan diri untuk melanjutkan hidup setelah ditinggal orang yang ia cintai.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS