Happy Hypoxia, Gejala Covid-19 yang Tidak Terlihat Namun Sangat Berbahaya

Self

Mommies Daily・09 Jul 2021

detail-thumb

Ditulis oleh: Rachel Kaloh dan Gita Laras

Angka kematian akibat COVID-19 dilaporkan naik di Bengkayang, Kalimantan Barat. Ada yang mengalami happy hypoxia. Kondisi seperti apakah itu dan bagaimana cara mengobatinya?

Happy Hypoxia ditemukan di salah satu kasus COvid-19 yang terjadi di Bengkayang, Kalimantan Barat. Sebuah kondisi di mana seseorang tidak mengalami kesulitan bernapas meski kadar oksigen di dalam tubuhnya sangat rendah. 

Berawal dari studi Martin J Tobin yang merupakan dokter spesialis paru serta seorang profesor dari Loyola University Chicago Strich School of Medicine, melalui tulisan dan risetnya berjudul Why COVID-19 Silent Hypoxemia is Baffling to Physicians yang dipublikasikan dalam American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. Tobin mengatakan bahwa kondisi ini sangat membingungkan bagi dokter karena sangat bertentangan dengan konsep biologi dasar.

Tingkat oksigen rendah, namun tidak sesak napas

Studi ini melibatkan 16 pasien Covid-19 dengan kadar oksigen yang sangat rendah hingga 50%, namun tidak mengalami sesak napas. Tingkat saturasi oksigen normal dalam darah adalah 95-100%. Level kadar oksigen dalam tubuh pasien diperiksa lebih dulu dengan pulse oximeter.

Bahkan lebih dari separuh pasien memiliki kadar karbondioksida yang rendah di dalam tubuhnya, hal inilah yang mungkin mengurangi dampak dan gejala pada pasien. Hasilnya, semua pasien ini mengalami yang namanya happy hipoxia.

BACA JUGA: 4 Langkah Meningkatkan Saturasi Oksigen

Apa sebetulnya Happy Hypoxia Syndrome?

Happy hypoxia syndrome dikenal pula dengan istilah “Silent Hypoxemia”. Hipoksemia sendiri adalah penurunan kadar oksigen dalam darah. Kondisi ini jelas bisa mengancam nyawa.

Hipoksemia umumnya dapat disebabkan oleh berbagai kondisi pernapasan, seperti asma, pneumonia, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Hipoksemia juga terkadang dapat terjadi pada bayi baru lahir dengan kelainan atau penyakit jantung bawaan dan bayi prematur. 

Orang yang mengalami hipoksemia umumnya akan menunjukkan beberapa gejala seperti sesak napas, batuk atau mengi, sakit kepala, detak jantung cepat, merasa bingung, serta kulit, bibir dan kuku yang membiru.

Lalu, apa yang harus dilakukan saat gejala happy hypoxia muncul?

Dr. Udit Chadda, dokter ahli paru intervensi, mengatakan bahwa happy hipoxia bisa diketahui dengan pemeriksaan kadar oksigen dalam tubuh menggunakan oximeter. Sebetulnya, setiap pasien COVID-19 wajib secara rutin memeriksa kadar oksigennya. Jika angka saturasi oksigen masih berada di atas 95, maka itu normal. Namun, apabila kurang dari itu, sebaiknya segera mendapat pertolongan untuk meningkatkan oksigen. 

Dokter spesialis paru Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Erlina Burhan, mengatakan satu-satunya obat happy hypoxia adalah oksigen.  Jika kondisi pasien sudah sangat lemas, harus segera dilarikan ke rumah sakit.

Dilansir dari Halodoc, pasien perlu diberikan oksigen tambahan menggunakan selang yang disambungkan ke tabung oksigen. Ini dilakukan untuk menambah kadar oksigen dan mengurangi risiko kerusakan organ tubuh, Alat bantu napas atau ventilator juga dibutuhkan hingga kondisi pasien normal. 

Untuk menghindari happy hypoxia, risikonya dapat dicegah dengan berolahraga secara teratur, mengonsumsi makanan bergizi, serta hindari menjadi perokok aktif maupun pasif. 

Sumber: DetikHealth, CNNIndonesia, Halodoc