4 Gaya Pengasuhan dan Dampaknya pada Karakter Anak

Parenting & Kids

Sisca Christina・26 Aug 2021

detail-thumb

Ingin anak tumbuh menjadi pribadi yang utuh atau ala kadarnya, itu tergantung  gaya pengasuhan kita. Cari tahu gaya pengasuhan dan dampaknya pada karakter anak.

Gaya pengasuhan yang kita terapkan pada anak bisa memengaruhi seluruh aspek tumbuh kembang anak. Mulai dari berat badan anak, hingga perilaku baik buruknya. Lagi-lagi, saya teringat sebuah kalimat saat mengikuti sebuah parenting sharing session.

Mengutip prinsip metode pendidikan Charlotte Mason, sang pembicara mengatakan bahwa tidak ada anak yang terlahir baik atau buruk. Namun, di dalam tubuh, benak, hati dan jiwa anak, mereka memiliki kecenderungan untuk menjadi baik atau buruk. Itu semua tergantung dari cara mendidik dan gaya pengasuhan kita sebagai orang tua, sang pendidik anak.

Diana Baumrind, seorang psikolog klinis dan perkembangan University of California di Berkeley melakukan penelitian tentang gaya pengasuhan anak pada tahun 1960-an. Dari penelitiannya tersebut, Baumrind menyimpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara tipe pola asuh orang tua dengan perilaku dan perkembangan anak.

Bagaimana cara orang tua berinteraksi dam mendisiplinkan anak akan berpengaruh pada perasaan anak tentang dirinya sendiri. Juga memengaruhi pribadi anak saat ia dewasa. Jadi, kita wajib memastikan gaya pengasuhan yang kita terapkan mendukung tumbuh kembang anak.

Empat Jenis Gaya Pengasuhan

Baumrind telah mengidentifikasi tiga jenis gaya pengasuhan, yang kemudian disempurnakan oleh Maccoby dan Martin menjadi empat, yaitu:

  • Authoritarian Parenting
  • Authoritative Parenting
  • Permissive Parenting
  • Uninvolved Parenting
  • Yuk, kita simak penjelasan satu per satu empat gaya pengasuhan anak tersebut.

    1. Authoritarian Parenting (Pengasuhan Otoriter)

    Tuntutan tinggi, daya responsif rendah.

    orang tua strict

    Beberapa kalimat khas dari gaya orang tua yang otoriter adalah:

    “Karena saya berkata begitu,”

    “Pokoknya harus nurut.”

    Orang tua membuat aturan, anak wajib mengikutinya tanpa kecuali. Tingkat kontrol orang tua sangat tinggi. Komunikasi terjalin satu arah, yaitu melalui perintah dan aturan orang tua tersebut. Bila anak berupaya menggunakan nalarnya untuk mengerti atau mempertanyakan aturan tersebut, orang tua otoriter menganggapnya sebagai pembantahan. Orang tua tipe ini menganut prinsip menghukum ketimbang mendisiplinkan. Sayangnya, orang tua otoriter tidak responsif terhadap kebutuhan anak-anak mereka.

    Baca juga: Ketimbang Menghukum, Terapkan 5 Jenis Konsekuensi yang Mendidik Saat Anak Melakukan Pelanggaran

    Anak-anak yang orang tuanya memiliki pola asuh otoriter cenderung:

  • Memiliki watak yang tidak bahagia.
  • Kurang mandiri.
  • Merasa tidak aman.
  • Memiliki harga diri yang rendah.
  • Menunjukkan lebih banyak masalah perilaku.
  • Pencapaian akademisnya buruk.
  • Memiliki keterampilan sosial yang buruk.
  • Lebih rentan terhadap masalah mental.
  • Lebih rentan memiliki masalah penggunaan narkoba.
  • Tidak mampu mengatasi masalah dengan baik.
  • 2. Authoritative Parenting (Pengasuhan Suportif atau Berwenang)

    Tuntutan tinggi, daya responsif tinggi.

    Orang tua yang otoritatif menggunakan wewenangnya sebagai orang tua secara sadar dan bertanggung jawab. Di samping menerapkan aturan dan menggunakan konsekuensi, mereka juga mempertimbangkan pendapat anak-anak mereka. Orang tua tipe ini memvalidasi perasaan anak-anak mereka.

    Orang tua tipe otoritatif mau menginvestasikan waktu dan energi untuk membentuk perilaku yang baik pada anak. Selain itu, mereka juga menggunakan strategi disiplin positif untuk memperkuat perilaku yang baik.

    Kalau mommies bersedia memberi alasan dan penjelasan atas tindakan anak-anak, artinya mommies orang tua tipe otoritatif. Adanya komunikasi terbuka dua arah dalam gaya pengasuhan otoritatif memungkinkan anak-anak untuk memiliki rasa kesadaran dan mengajar anak-anak tentang nilai-nilai, moral, dan tujuan.

    Walau tegas dan disiplin, orang tua tipe otoritatif tetap hangat, penuh kasih sayang dan suportif. Pada akhirnya, ini akan mendorong tumbuhnya kemandirian dan rasa tanggung jawab pada anak.

    Anak-anak yang diasuh dengan gaya otoritatif, cenderung berperilaku sebagai berikut:

  • Tampak bahagia dan puas.
  • Lebih mandiri.
  • Lebih aktif.
  • Memiliki harga diri yang baik.
  • Memiliki keterampilan sosial yang baik, atau mudah bergaul.
  • Cenderung tidak menggunakan kekerasan.
  • Merasa aman
  • Secara akademik menunjukkan pencapaian yang lebih tinggi
  • Saat dewasa, anak akan memiliki kesehatan mental yang lebih baik: lebih sedikit depresi, kecemasan, upaya bunuh diri, kenakalan, penggunaan alkohol dan narkoba​​.
  • 3. Permissive Parenting (Pengasuhan Permisif)

    Tuntutan rendah, daya responsif tinggi.

    Orang tua yang permisif sering berkata: “Namanya juga anak-anak, maklumi ajalah”. Mereka menetapkan sedikit aturan dan batasan, namun tetap saja enggan untuk menegakkan aturan tersebut. Biasanya orang tua tipe ini sangat hangat kepada anak-anak. Sayangnya, kadarnya berlebihan hingga sangat memanjakan dan tidak suka berkata tidak yang dapat mengecewakan anak-anak mereka.

    Orang tua permisif bersikap lunak dan nggak tegaan, sehingga nggak jarang menolerir perilaku buruk anak. Seringkali, mereka hanya turun tangan ketika ada masalah serius. Walau menggunakan konsekuensi, mereka mungkin tidak membuat konsekuensi itu melekat pada hati dan pikiran anak. Ketika anak berbuat salah, akan mudah memaafkan. Dengan mudahnya anak mendapat kembali hak istimewa jika bersikap manis.

    Memang, orang tua permisif punya sikap yang mendorong anak-anak untuk berbicara tentang masalah mereka. Namun, biasanya orang tua tidak berusaha keras untuk mencegah pilihan atau perilaku yang buruk.

    Anak-anak dari pola asuh permisif cenderung untuk:

  • Tidak bisa mengikuti aturan.
  • Memiliki kontrol diri yang buruk.
  • Memiliki kecenderungan egosentris.
  • Menghadapi lebih banyak masalah dalam hubungan dan interaksi sosial.
  • 4. Uninvolved Parenting (Tidak Terlibat)

    Tuntutan rendah, daya responsif rendah.

    Tipe orang tua ini tidak menetapkan batasan yang tegas atau standar yang tinggi. Acuh tak acuh terhadap kebutuhan anak-anak dan tidak terlibat dalam kehidupan mereka. Orang tua tidak mencurahkan banyak waktu atau energi untuk memenuhi kebutuhan dasar anak, sehingga anak-anak mungkin tidak menerima banyak bimbingan, pengasuhan, dan perhatian.

    Bisa jadi, orang tua yang tidak terlibat ini memiliki masalah mental seperti depresi, atau kekerasan fisik atau penelantaran anak ketika mereka masih anak-anak. Ini dapat berakibat mereka lalai dalam menjalankan tanggung jawab dalam mengasuh anak, namun belum tentu karena disengaja.

    Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang lalai cenderung menjadi:

  • Lebih impulsif.
  • Tidak bisa mengatur emosi sendiri.
  • Menghadapi lebih banyak masalah kenakalan dan kecanduan.
  • Memiliki lebih banyak masalah mental — misal perilaku bunuh diri pada remaja.
  • BACA JUGA: 8 Hal yang Perlu Diingat Ayah & Ibu Saat Membesarkan Anak

    Dari empat gaya pengasuhan anak tersebut, para psikolog dan psikiater menganggap bahwa pengasuhan otoritatif secara konsisten dianggap sebagai gaya pengasuhan terbaik. Ini terlihat dari hasil terbaik pada perilaku anak-anak.

    Namun tentunya, ada banyak faktor lain yang juga turut memengaruhi pembentukan karakter seorang anak, salah satunya budaya dan lingkungan sekitar. Mungkin saja, setiap orang tua tidak menerapkan satu gaya pengasuhan tertentu, dan mengombinasikannya disesuaikan dengan situasi atau karakter anak.

    Nah, yang mana gaya mommies? Kalau ternyata tipe pengasuhan yang dipakai selama ini dirasa keliru, belum terlambat untuk mengubahnya.

    Foto: Freepik