Supaya tidak sekadar hanyut dalam pusaran opini di Twitter maupun di media mainstream, mari kita tahu konteks pembicaraan Herd Stupidity.
Minggu ini media sosial ramai membicarakan istilah herd stupidity sebagai biang keladi dari merebaknya gelombang kedua Covid-19 mencapai rekor tertinggi yakni 20.574 kasus dalam sehari. Di Indonesia, istilah ini dipopulerkan oleh epidemiolog UI, Pandu Riono, lewat akun Twitter miliknya, @drpriono1. "Indonesia sudah lama dalam kondisi "Herd Stupidity". Perilaku Manusianya yg dorong replikasi virus, memperbanyak diri dan berubah menjadi lebih mudah menular. Manusia yg mendapat amanah jadi pejabat dan manusia-manusia lain yg tidak berperilaku 5M & enggan divaksinasi."
Sejak awal Mei, di Amerika Serikat (AS), istilah ini sudah duluan ramai di Twitter sebagai tanggapan dari artikel yang tayang di New York Times (3/5) tentang Herd Immunity.
Dalam artikel berjudul Reaching Herd Immunity Is Unlikely in the US, Experts Now Believe, mengungkap, sejak awal pandemi menyebar ke seluruh dunia pada awal tahun 2020, telah diprediksi bahwa satu-satunya jalan keluar dari pandemi adalah lewat herd immunity, agar orang mendapatkan kekebalan, baik melalui infeksi alami atau vaksinasi. Konsep mencapai herd immunity menjadi tujuan implisit di banyak negara.
Nah, untuk mencapai herd immunity, targetnya harus 70% populasi yang divaksinasi. Faktanya, (di AS), setelah distribusi vaksin, perkiraan ambang batas malah meningkat, karena perhitungan awal didasarkan pada penularan virus versi asli. Sementara, sekarang muncul varian lain, seperti B.1.1.7, yang efeknya 60 persen lebih mudah menular.
Akibatnya, para ahli menghitung ambang batas herd immunity menjadi setidaknya 80 persen. Jika varian yang lebih menular berkembang, atau jika para ilmuwan menemukan bahwa orang yang diimunisasi masih dapat menularkan virus, perhitungannya harus direvisi naik lagi. Boro-boro mencapai ambang batas herd immunity, sekitar 30 persen penduduk AS masih enggan divaksinasi. Semakin cepat target vaksinasi tercapai, semakin cepat herd immunity bisa didapatkan.
Istilah herd stupidity pun muncul sebagai bentuk pelesetan dari herd immunity, bentuk kegeraman warga AS pada masyarakat yang enggan divaksin sehingga target herd immunity masih jauh dari harapan, lebih buruk lagi, tidak akan bisa dicapai. Salah satunya, cuitan dari multimedia jurnalis @David_Leavitt, tertanggal 3 Mei, “America won’t ever attain “Herd Immunity” because we have too much “Herd Stupidity.”
Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi di AS, tapi di mana-mana. Di AS yang vaksinnya banyak dan gratis, warga bisa memilih vaksin yang diinginkan, itupun tidak semua warganya antusias. Bagaimana dengan di Indonesia? Kita baru mulai. Setidaknya, menurut data per 27 Juni 2021, sampai hari ini yang sudah divaksinasi berjumlah 27.200.222, dari target 40 juta orang, atau sekitar 11 dari 100 penduduk sasaran vaksinasi sudah mendapatkan dosis pertama vaksin. Mengikuti saran para ilmuwan, supaya herd immunity tercapai, dan pandemi teratasi, ada baiknya kita tidak memperparah kondisi herd stupidity seperti yang terjadi di AS. Antara lain, dengan cara:
Tetap menjaga prokes. Ikuti protokol 5M, mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, mengurangi mobilitas. Sesimpel itu, sih!
Tidak membenci orang yang taat prokes. Berbeda opini sah-sah saja. Kita tidak bisa memaksakan satu pemikiran untuk semua orang. Ada yang menganggap remeh pandemi? Jangan buru-buru benci mereka. Banyak faktornya. Ketidakjelasan kebijakan, merebaknya korupsi dan semua ujung-ujungnya duit. Sebaliknya, kalau Anda termasuk orang yang skeptis, juga tidak perlu menertawakan teman yang mau jaga diri baik-baik. Setiap orang bebas punya argumentasi masing-masing, dan cara sendiri untuk membuat dirinya tetap berpikir positif, tapi tetap ikuti 5 M, just in case Anda sendiri yang kena. Cukup simpan sikap skeptis untuk diri sendiri, tidak perlu sampai memprovokasi, nantang-nantang keluar rumah tanpa pakai masker.
Vaksin or no vaksin? Jadilah orang yang mau mengedukasi diri sendiri. Tidak perlu terjebak perdebatan pro kontra vaksin. Yang penting, jangan sampai apa yang kita lakukan itu sekadar ikut-ikutan, tanpa mau belajar. Cari tahu soal vaksin yang akan kita dapat, bagaimana efikasinya, efek sampingnya, batasan usia, kontra indikasi. Tidak semua vaksin aman untuk semua orang. Ada beberapa kondisi khusus yang memang tidak boleh vaksin atau justru rentan dengan efek samping vaksin. Kuncinya, berdayakan diri.
Baca juga: 5 Jenis Vaksin Covid-19 yang Beredar di Indonesia, Apa Saja Perbedaannya?
Jaga kesehatan. Pandemi ini membuat kita lebih sadar bahwa health is wealth. Sehat adalah harta tak ternilai. Saatnya untuk lebih aware dengan kesehatan dan menempatkan kesehatan dan imunitas tubuh kita sebagai sebuah aset penting, prioritas utama. Caranya, mulai dari teori yang umum, semua orang sudah tahu: jaga asupan, olahraga yang pas (tak lebih tak kurang), tidur cukup. Itu saja dulu.
Kembali ke soal herd immunity versus herd stupidity, setidaknya jika herd immunity tak tercapai, kata ahli, merujuk artikel di New York Times di atas, dengan vaksinasi, tingkat rawat inap dan kematian setelah pembatasan pandemi dilonggarkan, bisa diturunkan. Optimis saja!
Photo by National Cancer Institute on Unsplash