Begini cerita masa kecil seorang psikiater Jiemi Ardian yang membuatnya bisa seperti sekarang ini.
Belakangan ini, kampanye mental health awareness makin marak. Di timeline Instagram saya pribadi pun terlihat makin banyak pihak yang kini menyuarakan betapa pentingnya memiliki mental yang sehat, termasuk para ahli, salah satunya psikiater, dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ (32). Beliau termasuk salah satu ahli yang cukup aktif menyuarakan tentang kesehatan mental di Instagram, karena selain sebagai spesialis kejiwaan, dr. Jiemi adalah Mindfullness Based Stress Reduction (MBSR) teacher. Ada poin penting mengenai mental health yang disebutkan dr. Jiemi di akun Instagramnya, yang menurut saya penting buat kita ingat terus, yaitu:
Mental health bukan sekadar mencari yang nyaman dan enak
Berhubung bulan Mei ini adalah Mental Health Awareness, saya mengutip dari salah satu postingan dr. Jiemi di Instagram, bahwa mementingkan mental health itu bukan berarti mencari yang nyaman dan enak saja. Banyak hal nggak enak lain yang perlu dilakukan, dan nggak semua yang nyaman itu bagus buat mental health. Menurut dr. Jiemi, kesehatan jiwa itu keadaan sejahtera di mana individu menyadari kemampuannya, dapat mengatasi tekanan hidup yang normal, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya. Kondisi sehat jiwa bukan berarti sekadar perasaan nyaman dan baik saja.
Harus ada usaha untuk mencapai jiwa yang sehat
Dr. Jiemi menyebutkan bahwa usaha untuk mencapai jiwa yang sehat tidak selalu enak, kadang kita perlu melawan dorongan destruktif menyakiti diri, mendorong diri berolahraga, melatih diri meregulasi emosi, menyadari pikiran dan mengelolanya, berkomunikasi dengan lebih asertif, membangun batasan personal tetapi tidak mengisolasi diri, berempati tapi tidak mengorbankan kesejahteraan diri, dan banyak tidak sederhana lain.
Dengan memahami bahwa mental health bukan sekadar mencari yang nyaman tetapi tetap perlu usaha, pasti kita akan lebih mudah menata pikiran dan jiwa kita.
Sebagai salah satu orang yang kini menginspirasi banyak followers-nya, termasuk kita para ibu-ibu, seperti apa, sih, masa kecil dr. Jiemi dan nilai-nilai apa yang ia pegang sampai membuatnya seperti sekarang ini? Yuk, simak obrolan saya dengan beliau berikut ini.
Dokter, lagi sibuk apa belakangan ini?
Sehari-hari sibuk menangani pasien, membaca buku, dan ikut course selagi pandemi, malah bisa belajar banyak.
Coba Dokter sebutkan, apa saja, sih, 3 hal yang Dokter suka dari diri sendiri serta alasannya!
Saya ini adalah seorang pekerja keras, mungkin ini pula yang membuat saya bertahan sekalipun sedang menghadapi kesulitan. Suka belajar: saya suka akan pengetahuan baru, menurut saya itu merupakan bagian dari personal progress, dan yang pasti saya selalu berusaha menjadi orang yang compassionate: in the world full of competition, we need compassion.
Bicara soal progress, dr. Jiemi juga sempat mengungkapkan hal yang selama ini seringkali bisa memicu kita untuk tidak menghargai diri sendiri. Dalam akun Instagramnya, ia memberikan pesan,
“Progres kecil atau besar tetap progres, hargai perkembanganmu, ya, Teman-teman!”
Pengalaman masa kecil apa yang membentuk Dokter Jiemi sampai bisa memiliki 3 hal di atas? Apakah ada kondisi-kondisi tertentu dan sejauh mana andil orangtua?
Dulu, saat kecil, orangtua melatih saya dari sekadar membersihkan rumah, hingga jualan, sederhananya untuk saya menjadi pribadi yang mandiri. Di tengah keterbatasan ekonomi dari orangtua, mereka tetap merencanakan pendidikan yang terbaik sambil mengusahakan anaknya tetap mandiri ketika sampai pada fase tersebut. Kalaupun tidak ada uang, paling tidak saya punya kerja keras dan kemauan untuk belajar.
Punya buku atau film favorit yang akhirnya mengubah cara pandang Dokter terhadap suatu hal?
Saya senang sama buku Man Search for Meaning, Mindset, Full Catastrophe Living.
Berkaitan dengan pola asuh orangtua, adakah yang kini Dokter terapkan pada keluarga sendiri?
Saya akan tetap mempertahankan bagian bekerja sebaiknya dengan sumber daya yang ada, maksudnya recources untuk bertindak, ya, waktu, tenaga, uang, dukungan. Karena melakukan yang terbaik itu patokannya, ya, sumber daya yang ada pada diri sendiri. Yang terbaik buat saya saat ini bisa jadi bukan yang terbaik ketika resources-nya sudah lebih banyak. Begitu pula sebaliknya, dulu mungkin usaha saya tidak sebaik saat ini, karena resources-nya tidak sebaik saat ini.
Sebaliknya, hal apa yang tidak mau dicontoh dari orangtua?
Apa, ya, saya jadi bingung. Saya merasa mereka berdua adalah orangtua yang sangat baik, apalagi dilihat dari sumber daya pada saat tersebut.
Pesan yang paling Anda ingat dari orangtua?
“Nggak apa-apa susah dulu, ya!” Yang ternyata nenek saya juga sering mengucapkan ini :)
Apakah yang bisa Dokter sampaikan kepada mereka yang membutuhkan bantuan ahli dalam mengatasi masalahnya?
Mencari pertolongan itu bukan tanda kelemahan, sebaliknya butuh kekuatan dan kesadaran untuk menyadari keterbatasan diri dan mencari pertolongan. Tidak apa untuk mencari pertolongan.
Baca juga:
Dessy Ilsanty: Kesejahteraan Diri Sendiri Perlu Diperhatikan, Bukan Artinya Kita Egois!