banner-detik
SELF

Toxic Femininity, Sisi Buruk Feminin yang Tak Disadari

author

Ficky Yusrini19 Mar 2021

Toxic Femininity, Sisi Buruk Feminin yang Tak Disadari

Ah, masa sih, feminitas punya sisi toksik? Yes, faktanya memang ada yang namanya toxic femininity

Ada anggapan, selama ini sifat-sifat jahat melekat pada pria. Pria pelaku KDRT, pria pelaku kekerasan, poligami, selingkuh, bermulut kasar, dan sebagainya. Segala kualitas maskulin yang menjadi destruktif. Sedangkan perempuan identik sebagai korban dari ‘kejahatan’ pria. Bicara tentang feminitas selalu dikaitkan dengan nilai-nilai luhur seperti kelembutan, mengayomi, empati, kasih sayang, kepedulian, dan sebagainya. Jarang yang menyinggung soal sisi toksik dari feminitas.

Baca juga: 5 Alasan Kenapa Perempuan Terlalu Keras pada Diri Sendiri

Ibarat sisi mata uang, pria dan perempuan sama-sama punya sisi baik dan buruk. Maskulinitas dan feminitas juga punya sisi buruk. Perempuan yang memanipulasi sisi feminitas dalam dirinya untuk hal yang buruk juga ada,…banyak. Beberapa contoh toxic femininity, antara lain:

Sesama perempuan lebih brutal

Masih ingat dengan adegan jambak-jambakan dua penumpang perempuan di KRL gerbong khusus perempuan? Sejak pandemi kita jarang mendengar situasi kereta berjubel. Dulu, itu pemandangan sehari-hari. Dibanding gerbong campuran, gerbong khusus perempuan saat jam sibuk terkenal sebagai ‘gerbong maut’ karena dianggap lebih mengancam, selain lebih padat, rebutan tempat duduk, jangan berani-berani memancing emosi penumpang lain. Ibu hamil pun takut kalau harus masuk ke gerbong khusus perempuan.

Contoh lain, di kalangan remaja putri, bully yang dilakukan sesama perempuan jauh lebih kejam. Tak jarang akhirnya berujung pada bunuh dirinya korban.

Sesama perempuan lebih kompetitif

Di dunia yang didominasi pria, perempuan umumnya tidak berdaya melawan sistem. Alhasil, lebih efektif jika energi ‘berperangnya’ diarahkan ke target perempuan, untuk mendapatkan posisi yang ia inginkan. Entah itu, memperebutkan jabatan di kantor, pengaruh dari lingkungan, pacar, dan lainnya. Dalam ‘berperang’, perempuan cenderung menggunakan cara-cara yang halus dan tidak frontal. Berbeda dengan pria yang biasanya lebih frontal dan kasar. Cara yang tidak kasat mata, tetapi punya daya rusak tinggi. Misalnya, berupa ghibah, gosip, atau pengucilan sosial.

Baper kebangetan

Feminitas itu dekat dengan sensitif, peka, perasaannya halus, dan intuitif. Menjadi toksik apabila tingkat sensinya berlebihan. Misalnya, baper. Kalau hari ini kita membuat salah dengan teman pria, bisa beres dengan ucapan maaf, setelah itu kita bisa hahahihi bareng lagi. Lain halnya kalau kita membuat salah dengan teman perempuan. Perlu putar otak beribu kali untuk mencari cara meralatnya agar hubungan tetap baik. Minta maaf saja tidak cukup. Di belakang, dia bisa ember ke mana-mana, atau kalaupun selesai sebentar, jangan kaget jika suatu saat diungkit-ungkit terus.

Diam dan pasrah

Feminitas berarti menunjukkan sikap damai, tenang, tidak melawan. Salah satu bentuk manifestasinya adalah diam, atas kekerasan maupun ketidakadilan yang dialami. Ini merupakan reaksi yang umum terjadi sebagai cara perempuan bertahan. “Mungkin ini sudah takdir.” “Habis, mau diapain lagi?” “Mudah-mudahan dia sadar sendiri.” Begitu kira-kira alasan kenapa ada perempuan memilih diam dalam ‘neraka’ yang dihadapinya.

Baca juga: Orang tua, Didik Anak Perempuan Berani Bersuara, Bukan Menjadi Sempurna

Menghalalkan segala cara demi mendapatkan yang diinginkan

Perempuan sering dipersepsikan sebagai korban. Toksik feminitas mengeksploitasi betul sisi ‘innocence’ perempuan di mata publik. Sebutlah, berani membuat tuduhan palsu, memeras, merebut apa yang bukan haknya, mengadu domba, membuat narasi palsu yang menyudutkan orang lain, seolah-olah orang lain telah berbuat zalim terhadap dirinya.

Menyalahkan orang lain

When in doubt, blame a man. Ungkapan yang bernada sarkastis, tapi ini kerap terjadi. Lebih mudah menyalahkan orang lain atas kondisi kesusahan yang menimpa kita. Apa pun itu. Contoh sederhana, sebagai ibu, saat kita kesulitan dalam mendisiplinkan anak, lebih mudah menoleh dan mengarahkan telunjuk ke ayahnya, “Habis, gimana mau menyuruh anak lepas gadget, kalau ayahnya saja nggak bisa lepas dari gadget.” Ehm…

Tonton:

Laki-laki: Kami Juga Korban Pelecehan Seksual

Photo by Some Tale on Unsplash

Share Article

author

Ficky Yusrini

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan