Lima Alasan Mengapa Perempuan Terlalu Keras terhadap Diri Sendiri

Self

Ficky Yusrini・10 Mar 2021

detail-thumb

Sering ragu, kurang percaya diri, rela menyiksa diri, adalah beberapa tanda perempuan terlalu keras pada diri sendiri.

Saya bukan tipe orang yang hobi selfie, tapi sebetulnya (dan sejujurnya) kalau ditelisik lebih jauh, saya tidak suka melihat foto diri saya sendiri. Rasanya selalu ada yang kurang. “Oh no! Torso saya terlihat panjang, bahu menutup, leher sedikit maju, wajah kurang cerah, mukanya terlalu serius, dan sebagainya. Alhasil, susah banget pilih foto diri yang lolos QC diri sendiri, wkwkwk. Big no no kalau di-posting, pokoknya. Secara tidak langsung, saya sudah bersikap keras pada diri saya sendiri. Tidak bisa menerima kekurangan tubuh saya apa adanya.

Selain remeh temeh urusan selfie, ada banyak motif yang menunjukkan perempuan terlihat keras pada dirinya sendiri. Seorang teman yang belum lama kehilangan, bercerita, ia tak bisa memaafkan dirinya setelah suaminya meninggal. Begitu banyak penyesalan, seandainya saja di saat-saat terakhir ia mencurahkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk suami. Ia terpuruk dalam penyesalan teramat mendalam. Ada pula, teman yang setiap hari bangun pukul 03.00 pagi, memulai aktivitas, untuk membaca buku, melakukan beberapa pekerjaan sedini mungkin, agar lebih mudah mengatur waktu pada siang harinya.

Ah, iya. Itu namanya rajin dan pekerja keras. Bagus, dong! Well, memang kita tidak bisa menilai semudah itu apa yang tampak dari luar. Punya sikap disiplin tinggi dan self-regulation yang bagus, tentu sesuatu yang positif. Tidak senang mengumbar selfie, juga bisa berdampak positif. Segala yang kita lakukan itu bisa menjadi negatif kalau dibongkar lagi dan dibongkar lagi motivasi di dalamnya dan bagaimana kita mempersepsikannya, mengandung tujuan yang tidak tepat. Dan itu dalam batas tertentu yang tahu hanya diri kita sendiri.

Secara umum, ada beberapa alasan kenapa jika dibandingkan kaum laki-laki, perempuan terlalu keras terhadap dirinya.

Judgment dari sesama perempuan

Menurut Anda, untuk siapa perempuan menato alis, pasang bulu mata, memilih style dan warna make up tertentu untuk wajahnya? Pria seperti suami saya, misalnya, tak pernah begitu peduli melihat istri berdandan atau tidak. Asal rapi dan bersih saja, buat dia sudah cukup. Lain halnya, kalau saya berniat pergi bertemu banyak teman perempuan. Dandanan harus terlihat perfect, tidak polos. Lipstik nggak boleh kurang merah (supaya tidak kalah abu), lebih sempurna lagi pakai eyeliner. Rasanya jauh lebih rewarding jika bisa dapat pujian dari perempuan. Gawat kalau sampai kena julid gara-gara dandanan, wkwkwk. Tidak hanya soal dandanan, sesama perempuan jauh lebih kejam dalam mengkritik. Segala yang kita lakukan, selalu bisa dicari kekurangannya, dan itu yang dibicarakan. Kalau dipikirin, bisa jadi drama nggak habis-habis.

Kurangnya kejernihan dalam melihat diri

Self-awareness, spanning self-help, self-education, self-regulation, self-efficacy and self-determination. Siapa lagi yang akan peduli pada diri kita, jika bukan diri kita sendiri. Penting sekali seorang perempuan punya self-love agar bisa berdaya. Self-love dimulai dari bekal pengetahuan yang cukup. Pengetahuan tentang diri, tentang bagaimana menjaga kesehatan fisik dan mental diri kita, tahu tujuan hidup kita agar tidak mudah terpengaruh arus di luar, tahu bagaimana mengatur dan mendisiplinkan diri, serta bagaimana mengubah nasib kita sendiri. Untuk itu, kita perlu punya kejelasan pada visi dan kejernihan dalam melihat diri. Jika tidak demikian, kita akan lelah terombang-ambing arus dan membandingkan diri pada orang lain.

Standar yang tidak realistis

Secara sosial, masyarakat kita punya standar (tidak tertulis) yang sangat tinggi dalam menilai perempuan. Standar ini disebut juga standar ganda. Bisa kita lihat dalam iklan, media, film, budaya populer, dan sebagainya. Perempuan dicitrakan sempurna, cantik, punya pekerjaan bagus, bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anak, bisa mengurus rumah, bisa menyeimbangkan antara karier dan rumah tangga, dan sebagainya. Dan saat kita melihat dan membandingkan diri dengan perempuan lain, rumput tetangga terlihat lebih hijau. Perempuan lain bisa, kok. Sementara, kita struggling habis-habisan dan menjadi perempuan terlalu keras. Seringkali, kita tidak tahu saja, bagaimana dramanya perempuan lain dalam mengatur hidupnya.

Karena 24 jam itu tidak cukup

Realistis saja, kalau dijembreng job desc perempuan, baik berkarier, berbisnis, maupun ibu rumah tangga, daftarnya panjang jika kita tidak punya skala prioritas, dan semuanya mau dipegang. Mission impossible. Waktu 24 jam dalam sehari tidak akan cukup untuk kita bisa menyelesaikan semua daftar pekerjaan tersebut, bukan? Jadi, buat target yang realistis saja, miliki prioritas, bagi tugas, dan cari bantuan jika memang membutuhkan.

Takut mengambil risiko

Teori yang menarik dari Carol Dweck, dari bukunya, "Mindset: The New Psychology of Success", perempuan dipuji karena kesempurnaannya. Sedangkan, laki-laki boleh nakal dan liar. Mereka lebih berani mengambil risiko. Di situlah masalah psikologis jangka panjang muncul. Perempuan cenderung mencari validasi dari orang lain dan kurang berani mengambil risiko. Makanya, kalau suka lihat perempuan milih baju saja bisa lamaa mikirnya, ya salah satunya karena keragu-raguan yang berasal dari kebutuhan untuk menjadi sempurna.

Baca juga: Didik Anak Perempuan Untuk Berani Bersuara, Bukan Menjadi Sempurna

Photo by Molly Belle on Unsplash