5 Alasan Kenapa Kita Sering Menyalahkan Perempuan Dalam Kasus Perselingkuhan

Etc

Ficky Yusrini・24 Feb 2021

detail-thumb

Dalam perselingkuhan, ada kecenderungan kita cenderung menyalahkan perempuan yang menjadi orang ketiga, bisa jadi karena lima sebab ini.

Setelah ribut-ribut skandal perceraian Rachel Vennya yang dikabarkan karena kehadiran orang ketiga, baru-baru ini jagad dunia maya kembali ramai dengan skandal perselingkuhan personel grup Sabyan Gambus antara Keyboardist Ayus Sabyan dengan vokalisnya, Nissa Sabyan. Skandal ini bukan hanya viral di media sosial, tapi juga sampai ramai menjadi bahan pemberitaan di media-media mainstream. Dalam kasus perselingkuhan, tak sedikit publik yang menilai negatif pihak perempuan, dalam hal ini Nissa Sabyan sebagai orang ketiga dalam rumah tangga Ayus, tak beda dengan Angelina Jolie yang dulu dianggap ‘merebut’ Brad Pitt dari Jennifer Anniston.

Lalu, muncul istilah pelakor (kepanjangan dari perebut laki orang), yang punya konotasi negatif, seolah-olah dalam perselingkuhan, perempuan sebagai orang ketiga adalah pihak penggoda yang menjadi sebab kehancuran rumah tangga.

Jika dirunut, ada beberapa alasan kenapa kita cenderung menyalahkan perempuan dalam hubungan segitiga:

Alasan # 1: Kita Menganggap Hubungan sebagai Properti

Kita sering menggunakan bahasa kepemilikan untuk berbicara tentang hubungan. Misalnya, ‘Ayus itu suami orang’. Suami atau kekasih orang, sesuatu yang karenanya tidak boleh diutak-atik, diambil, direbut, atau dicuri. Sekalinya menikah berarti kita sudah menjadi pemilik resmi dari ‘hati’ seseorang atau pasangan kita.

Faktanya, hubungan (baik itu belum maupun sudah menikah) adalah relasi kemitraan yang setara dan merdeka. Tidak ada yang memiliki. Setiap orang punya pilihan, bisa membuat pilihan. Setiap hari, kita dapat memilih apakah akan jujur, perhatian, dan berkomitmen terhadap pasangan kita, atau untuk melepaskan diri dan fokus pada diri sendiri.

Saat kita mengatakan ‘perebut laki orang’ artinya kita menganggap si pria tidak membuat pilihan. Sebuah hubungan tidak selalu harus dipertahankan mati-matian, terkadang (dalam kasus tertentu) mengakhiri sebuah hubungan bisa menjadi keputusan yang tepat. Bagaimanapun, itu adalah pilihan yang dibuat seseorang. Bukan karena pasangannya, atau karena kehadiran sosok orang ketiga.

Baca juga: 10 Alasan Untuk Memaafkan Perselingkuhan

Alasan # 2: Ada Stereotip Perempuan adalah Pihak Penggoda

Berakar dari pandangan misogini yang banyak ditemukan dalam dunia kuno maupun yang dianut dalam beberapa tradisi dan kebudayaan. Keyakinan yang membenci perempuan ini seolah menempatkan perempuan sebagai penggoda berbahaya yang menjadi penyebab dorongan seksual pria.

Perempuan mana pun yang mendekati pasangan kita adalah ancaman. Kita memperlakukan pasangan seperti anak kecil, bukan sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab dan mengambil kendali penuh. Pandangan semacam ini juga yang sebetulnya menjadi sumber dari munculnya perilaku diskriminasi seksual terhadap perempuan, fitnah, kekerasan, dan objektifikasi seksual perempuan.

Alasan # 3: Lebih Mudah Menyalahkan Perempuan

Bagi pihak yang disakiti dan dikhianati oleh pasangan, rasanya lebih menyakitkan untuk menerima kenyataan bahwa pasangannya membuat pilihan untuk tidak bersama dengannya dan memilih orang lain. Karenanya, jauh lebih mudah untuk berpikir seolah-olah orang lain sebagai biang kerok atas kehancuran rumah tangganya. Lebih mudah untuk mengkonfrontasi perempuan lain untuk mengurangi sakitnya dikhianati.

Alasan #4 Perempuan Senang Membayangkan Romantisisme

Bius romantisme lebih banyak menghinggapi perempuan. Romantisisme mengemukakan bahwa pernikahan seharusnya dilandasi perasaan cinta sejati, bukan sekadar alasan pragmatis. Itu artinya, ketika kita sudah menemukan soul mate, maka kita akan mengalami perasaan cinta penuh gairah seumur hidup dan bahwa pasangan akan selalu memahami kita sepenuhnya.

Baca juga: 7 Kesalahan Saat Bertengkar dengan Pasangan yang Membuat Rumah Tangga Pasti Berantakan

Alasan #5 Perempuan Lebih Emosional

Perempuan mudah bersimpati dan mudah memercayai ucapan seseorang. Saat sisi emosional sudah tersentuh, perempuan cenderung rela mengorbankan dan mempertaruhkan seluruh hidupnya demi orang yang dicintai. Dalam kasus perempuan yang didekati pria yang sudah beristri, bisa jadi pihak pria mengobral janji pada si perempuan, menyanjungnya sebagai penyelamat dari keburukan pasangannya di rumah, memujanya setinggi langit, dan sebagainya, akan sulit bagi seorang perempuan untuk melepaskan hubungannya. Walaupun, tidak sedikit juga yang sebetulnya hanya menjadi objek permainan semata.

Jadi, sudahkah kita bersikap adil sebelum memutuskan menghakimi salah satu pihak?

Image: Photo by Karl Magnuson on Unsplash