Self compassion, adalah ‘otot’ yang dapat kita bangun, yang membuat kita mampu menjadi lebih tangguh dan memungkinkan kita menjadi lebih optimis.
DALAM MASYARAKAT KITA YANG SANGAT KOMPETITIF, untuk merasa diri cukup berharga, kita perlu punya ‘prestasi’ yang istimewa, di atas rata-rata. Sesuatu yang bisa dibanggakan. Pencapaian yang biasa-biasa saja, tampak seperti kegagalan. Di masa sulit seperti sekarang, banyak orang merasakan kecemasan. Diperparah lagi, jika kita cenderung menghukum dan menyalahkan diri sendiri atas kesulitan dan kegagalan yang kita alami.
Ajaran tentang welas asih seringnya kita dengar, sesuatu yang perlu kita praktikkan ke orang lain. Padahal, sebelum kita bisa menyebarkan belas kasih ke orang lain, harus terbangun self-compassion terlebih dahulu. Sebuah pendapat menarik dikemukakan oleh Kristin Neff, tentang Self-Compassion, yang ia tulis dalam sebuah buku berjudul Self-Compassion: The Proven Power of Being Kind to Yourself, menyayangi diri sendiri adalah ‘otot’ yang dapat kita bangun, yang membuat kita mampu menjadi lebih tangguh dari waktu ke waktu dan memungkinkan kita menjadi lebih optimis.
Baca juga: Validasi Perasaan Anak dengan 6 Teknik Ini!
Dalam mempraktikkan welas asih, kita perlu mengamati emosi negatif dalam diri kita, segala yang berbentuk kesedihan, penderitaan, kegagalan, perasaan ditolak, dan sebagainya. Saat emosi negatif itu muncul, mungkin akan keluar sensasi fisik, jantung mulai berdegup kencang, otot tubuh menegang, perut dan kepala terasa sakit, dan lainnya. Tubuh tidak akan berbohong. Kita hanya perlu mendengarkan suara dan pesan yang dikirim oleh tubuh. Sadari emosi negatif tersebut, sadari tanpa menghakimi, dan menerimanya sebagai bagian dari diri kita, dari perjalanan hidup kita. Emosi negatif bukan untuk dihindari dan dihapuskan dari kamus hidup kita. "Ah iya, sekarang saya sedang mengalami masa yang sangat sulit." Beri waktu pada diri untuk memprosesnya. Kata Kristin, “Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyadari bahwa kita menderita.”
Baca juga: Tips Gembira dari Kak Seto Untuk Kelola Emosi Selama di Rumah
Teorinya mudah diucapkan. Berbaik hati bukan tentang mengasihani diri, memanjakan diri, bersikap egois, lemah, mencari alasan untuk bermalas-malasan dan tenggelam dalam pelarian yang tak menentu. Hambatan budaya dalam menyayangi diri sendiri adalah keyakinan bahwa welas asih akan merusak motivasi kita; bahwa kita perlu keras pada diri kita sendiri agar termotivasi untuk melakukan yang terbaik. Bersikap baik untuk tidak mengkritik diri sendiri dengan ‘pedas’. Bersikap baik pada diri sendiri sama halnya saat sahabat dekat mengalami kegagalan, apa yang akan kita katakan padanya? Kita akan menghibur, memeluk, mendukung, dan segala hal akan kita lakukan untuk membantunya merasa aman. Tanyakan pada diri sendiri, "Apa yang saya butuhkan saat ini untuk menjaga diri sendiri?" Nonton drakor agar terhibur? Bisa jadi.
Saat kita sedang bergulat dalam masalah, kita sering merasa menjadi orang yang paling menderita di dunia. Perasaan terisolasi dari orang lain dan bahkan iri pada orang lain karena mereka tampaknya baik-baik saja. Perspektif kita menjadi rabun. Setiap orang sesungguhnya tidak sempurna, bisa salah, dan pernah mengalami penderitaan dan masa sulit. Yang kita lihat hanyalah apa yang tampak di permukaan. Memahami bahwa kesulitan, frustasi dan kegagalan adalah hal yang manusiawi, bisa menormalkan pengalaman menyakitkan kita. Ingat kata pepatan, “You are not alone.” Kita selalu terhubung dengan orang lain dan tidak akan sendirian dalam menjalani ‘kegelapan’. Ada, kok, orang yang punya pengalaman yang sama dengan kita. Bahkan mungkin jauh lebih gelap.
Self-compassion adalah tentang sikap saat menghadapi masa sulit dan kegagalan, bagaimana kita menangani pikiran dan perasaan negatif kita dengan cara yang penuh perhatian. Dengan demikian, kita dapat memulihkan keseimbangan kita dan membangun ketahanan kita, sehingga kita dapat menghadapi badai di masa mendatang.