banner-detik
KIDS

Validasi Perasaan Anak dengan 6 Teknik Ini Untuk Redakan Emosi

author

Sisca Christina07 Dec 2020

Validasi Perasaan Anak dengan 6 Teknik Ini Untuk Redakan Emosi

Mampu memahami perasaan anak menjadi ilmu penting yang wajib dimiliki orang tua. Coba validasi perasaan anak dengan 6 teknik ini!

Setiap anak terlahir dengan karakter, pikiran dan perasaannya masing-masing. Mau itu lebih sensitif, periang, atau cenderung mudah marah. Ini harus dihargai, karena itulah yang membuat setiap anak unik. Kadang, mungkin kita gagal menangkap sinyal perasaan anak, jadinya emosi anak nggak tersalurkan dengan tepat.

Orang tua dituntut untuk memiliki keterampilan mengelola emosi negatif anak, supaya ia memiliki kecerdasan emosi. Ini adalah unsur penting dalam diri seorang anak yang bisa mengantarkannya menjadi pribadi yang utuh. Salah satu caranya yaitu dengan teknik validasi perasaan atau validasi emosi. Bisa dibilang, ini adalah salah satu kendaraan untuk bisa mencapai kecerdasan emosi tersebut.

Pada sebuah kulwap (kuliah whatsapp) yang saya ikuti beberapa waktu lalu tentang validasi emosi, sang pembicara, Mbak Ellen Kristi, Pendiri Komunitas Charlotte Mason Indonesia, sekaligus penulis buku Cinta yang Berpikir (Sebuah Manual Pendidikan Karakter Charlotte Mason), membagikan tipsnya untuk memvalidasi perasaan anak, sebagai berikut.

Validasi Perasaan Anak dengan Menjadi Pendengar yang Tulus

Sebagai tahap awal, siapkan diri mommies untuk menjadi pendengar yang tulus. Tinggalkan sejenak aktivitas, termasuk nggak melongok-longok ponsel saat mendengar anak berbicara. Simak semua ekspresi anak, baik verbal maupun nonverbal. Dengan menyimak, kita jadi bisa mengidentifikasi pikiran dan perasaan anak di balik segala gejala ekspresi yang ia tunjukkan.

Jangan Sangkal Perasaan Anak

Hindari menyangkal apapun yang anak coba sampaikan, walaupun bagi kita itu tidak masuk akal. Ingatlah bahwa perasaan setiap orang selalu valid bagi orang yang merasakannya. Apa, sih, bedanya menyangkal dan menerima perasaan anak? Mbak Ellen memberikan sebuah contoh ilustrasi berikut:

Seorang anak menemukan kura-kuranya mati, dan ia mengadu pada ibunya sambil mengangis. Ada dua contoh respon yang ditunjukkan dari sang ibu:

  • Respon 1: “Udahlah, Nak, nggak perlu nangis dan upset banget gitu. Itu kan cuma kura-kura. Ntar mama beliin yang baru! Udah, berhenti nangisnya.”
  • Respon 2: “Wah, ngagetin banget, ya Nak? (sambil peluk anak). Pasti kamu senang bermain-main sama kura-kuramu setiap hari ya? Kamu sayang sama kura-kuramu ya..?”
  • Bisa dibayangkan, jika kita gunakan respon pertama yaitu menyangkal perasaan anak, ia bakal tambah berang, emosinya semakin meluap. Sebaliknya, kalau kita gunakan respon kedua, yaitu menerima perasaan anak, ia akan merasa dipahami dan dimaklumi perasaannya. Anak akan lebih cepat mengatasi emosi negatifnya.

    Baca Juga: Jangan Lakukan 7 Hal Ini Saat Anak Berbuat Salah

    Gunakan Kalimat Pertanyaan, Jangan Ceramah

    Anak yang sedang emosional tidak mampu mencerna argumen dengan baik, karena otak rasionalnya sedang ditutupi otak emosional. Tanya anak dengan pertanyaan-pertanyaan yang memicu otak rasionalnya bekerja. Namun, hindari pertanyaan yang terlalu rumit untuk dijawab anak, seperti “Mengapa?” Ajukan pertanyaan yang bisa dijawab “ya” atau “tidak” oleh anak.

    Contoh, anak mommies menangis karena disuruh tidur siang saat ia lagi asik main, mommies bisa mengajukan serangkaian pertanyaan secara kronologis, seperti berikut:

  • Kamu sedang asik main ya?
  • Lalu, mama suruh kamu tidur siang, padahal kamu nggak suka tidur siang ya?
  • Ketika otak rasionalnya bekerja, ia akan mampu merespon. Dengan instrumen pertanyaan tersebut, mommies bisa bantu anak untuk memahami penyebab emosi negatifnya.

    Beri Label Emosi

    Setelah kronologinya jelas, bantu anak memberi nama pada emosi negatif yang ia rasakan, serta mengenali sensasi dan impuls yang menyertainya.

  • Kamu jadi kesal karena mama suruh tidur siang?
  • Kamu marah diminta berhenti main ya?
  • Lalu rasanya ingin menangis ya?
  • dan seterusnya
  • Jika dilakukan dengan tepat, biasanya pada pertanyaan ketiga atau keempat, emosi negatif anak akan mulai mereda.

    Baca juga: Tiga Jenis Tantrum yang Bunda Perlu Tahu

    Tunjukkan Empati Kepada Anak

    Selanjutnya, tunjukkan empati pada emosi yang sedang anak rasakan. Misalnya: “Iya ya, kalau sedang asik main disuruh berhenti pasti kesal. Mama bisa paham itu. Mama pun kalau lagi fokus bekerja terus disuruh berhenti, mama bakal kesal.”

    Memahami perasaan anak bukan berarti mengubah aturan menjadi sesuai keinginan anak. Sebaliknya, anak dilatih untuk paham bahwa ada aturan yang wajib dia jalankan walau dia nggak suka. Mommies bisa sampaikan pada anak: “Mama juga senang lihat kamu bermain, tapi tidur siang itu wajib, karena itu baik buat tubuhmu.” Kalau otak rasionalnya aktif, seharusnya pada tahap ini, anak tidak menangis lagi.

    Dorong Anak Untuk Membuat Keputusan Tepat

    Pada akhirnya, yang kita harapkan adalah anak mampu merespon realitas meski nggak sesuai dengan keinginannya. Kita ingin anak bisa dengan penuh kesadaran melakukan kewajibannya tanpa terpaksa. Untuk itu, berikan dorongan agar ia bisa mengerjakannya dengan gembira. Misalnya dengan memberi tawaran kemungkinan: “Kamu ingin tidur dengan lampu dinyalakan atau dimatikan?” atau “kamu mau mama selimutin atau nggak usah?”

    Teknik validasi perasaan tentunya dapat diutak-atik sesuai dengan kepribadian dan usia anak. Pada anak remaja, tentu lebih membutuhkan pertanyaan-pertanyaan reflektif yang lebih kompleks dibanding anak balita. Validasi emosi memiliki tujuan membantu anak menenangkan otak emosionalnya supaya otak rasionalnya bisa menimbang realitas apa adanya dan anak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

    Buat mommies yang belum menerapkan teknik validasi perasaan pada anak, belum terlambat untuk memulainya sekarang. Semangat, mommies!

    Baca Juga:

    8 Hal yang Perlu Diingat Ayah & Ibu Saat Membesarkan Anak

    7 Hal Wajib untuk Ortu Agar Anak Mampu Kelola Marah dengan Baik

    10 Tips Scream Free Parenting yang Wajib Anda Tahu

    Share Article

    author

    Sisca Christina

    Ibu dua anak yang berprofesi sebagai digital nomad, yang juga suka menulis. Punya prinsip: antara mengasuh anak, bekerja dan melakukan hobi, harus seimbang.


    COMMENTS


    SISTER SITES SPOTLIGHT

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan