Sorry, we couldn't find any article matching ''
Jangan Lakukan 7 Hal Ini Saat Anak Berbuat Salah
Saat anak berbuat salah, mungkin tanpa sadar (atau dengan sadar) kita melakukan tujuh hal ini yang ternyata dmpaknya tidak baik lho untuk tumbuh kembang si anak!
Sebagai orang tua, mungkin kita sering spontan menegur (dengan bonus mengomel, hahaha!) saat anak berbuat salah, tanpa sempat memikirkan cara yang kita tempuh, tepat atau tidak. Kadang nih, yang ada reaksi kita berlebihan pula. Yuk, cermati kembali respon kita saat anak berbuat salah, jangan sampai kita lakukan 7 kekeliruan berikut.
Menegur anak di depan umum
Anak bukan makhluk yang nggak ngerti apa-apa. Meski rasa dan emosinya belum berkembang sempurna, kita tetap perlu menghargai perasaannya. Ketika anak melakukan kesalahan di ruang publik (bahkan yang cukup memalukan sekalipun), ajak ia ke tempat yang lebih sepi dan tenang untuk bicara. Kalau anak meronta, segera gendong dan bebaskan dari kerumunan. Jika sudah tenang, nasihatilah dengan tegas namun penuh kasih. Hindari menegur dia di depan banyak orang, apalagi sambil ngomel. Bisa-bisa anak malu dan semakin kecewa. Jika sering dilakukan, dampak berat lainnya yaitu, anak bisa jadi minder, nggak berani berekspresi, nggak percaya diri. Bahkan, bukan nggak mungkin anak malah tumbuh menjadi keras.
Langsung marah tanpa mendengar penjelasan anak
Pernah nggak lihat anak memukul anak lain? Atau memecahkan benda di sebuah toko? Atau saking riangnya lari-larian sampai nabrak orang (yang lagi makan es krim pula!). Pada umumnya orang tua bakal spontan memarahi tanpa bertanya dulu sebabnya apa. Padahal, di balik kesalahan, selalu ada alasan. Baik alasan yang sering dianggap paling klise sekalipun, seperti “tidak sengaja” hingga alasan lainnya seperti memukul karena membela diri akibat disakiti anak lain. Ketimbang terbutakan dengan kesalahan anak, belajarlah untuk menyelidiki penyebabnya. Kalau orang tua kerap marah tanpa mendengar penjelasan anak, bisa saja anak jadi berbohong ketika melakukan kesalahan di lain waktu, lantaran takut dimarahi.
Membandingkan dengan anak lain
Ingat ketika kecil kita nggak suka banget dibandingkan dengan teman atau saudara kita yang menurut orang tua “lebih baik” dari kita? Rasanya nggak enak banget, kan? Nah, jangan sampai kita wariskan sikap itu kepada anak. Misalnya anak bicara kasar dan tidak sopan, beri contoh padanya bagaimana memilih kalimat yang benar. Nggak perlu bilang: “Lihat si anu, bicara selalu lembut nggak pernah kasar,” endebre endebre. Setiap anak unik, jadi nggak perlu dibandingkan dengan anak lain, terutama saat anak berbuat salah. Ini bisa membuat perasaannya makin terpuruk.
Berteriak atau membentak
Rasa-rasanya ini PR sejuta ortu, ya, nggak? Meski spontan, meski tujuannya mendisiplinkan, meski betul anak yang salah, meski minta maaf setelahnya, dan ribuan “meski” lainnya, membentak saat anak berbuat salah, tetap bisa mengikis hubungan orang tua dan anak. Kalau terbiasa berteriak, khawatirnya anak menjadi takut pada orang tua dan lebih sulit untuk mengakui kesalahannya. Selain itu, akhirnya anak pun bisa memilih cara yang sama jika orang lain melakukan kesalahan padanya.
Tentunya, berbicara dengan tenang akan lebih efektif. Ya, sih, ini nggak gampang. Walau udah berkomitmen nggak mau mengulanginya lagi, tetap saja amygdala rentan menyala saat melihat anak berulah. Dalam hal ini, orang tua perlu latihan. Menghitung mundur angka 10 hingga 1, lho, mommies. Ini terbukti efektif meredupkan emosi yang menyala-nyala.
Baca juga: 10 Tips Scream Free Parenting yang Wajib Anda Tahu
Seringkali, orangtua memberi hukuman yang nggak nyambung dengan kesalahan anak. Misalnya, anak merusa kaca mata milik ayah. Sebagai hukumannya, orang tua menarik haknya main gadget saat weekend selama sebulan. Bukannya menyesali kesalahannya, yang ada, anak tambah berang! Mengapa? Karena ia merasa haknya direnggut begitu saja, tanpa ada kaitan dengan kesalahan yang ia perbuat. So, jangan harap akan ada efek jera pada anak. Sebab, hukuman hanya akan membuat anak menderita dan merasa bersalah atas perbuatannya.
Berikan konsekuensi logis atau konsekuensi natural atas kesalahannya. Misalkan, anak menumpahkan minuman, biarkan ia membersihkannya sendiri. Jika anak berkata kasar dan kotor kepada temannya, maka ia tidak boleh bermain bersama teman selama dua hari. Ketika anak merusak kaca mata ayah, ia tidak lagi boleh meminjam barang-barang ayah hingga waktu yang ditetapkan. Teach them to learn from their mistakes.
Memaksa untuk menyelesaikan perkara saat itu juga
Saat berbuat salah, sudah pasti anak juga merasakan emosi. Entah itu takut, cemas, menyesal, atau bahkan marah. Anak juga perlu waktu untuk menetralisir perasaannya. Memaksa anak bicara untuk membereskan masalah malah bisa menciptakan masalah baru. Berikan waktu beberapa saat sampai emosi mereda. Berkomunikasi dalam suasana tenang tentu lebih bijaksana.
Baca juga: 7 Hal Wajib untuk Ortu Agar Anak Mampu Kelola Marah dengan Baik
Anak lari-lari dibilang salah. Anak bercanda sampai berisik, kita anggap salah. Anak memanjat-manjat, juga salah. Anak keterusan bermain nggak mau disuruh tidur, salah lagi. Kalau perspektif yang digunakan dalam menilai tingkah laku anak adalah perspektif kita sebagai orang dewasa, ambyarlah sudah. Sampai selamanya anak bakalan salah. Mungkin sebagian dari kesalahan anak, sebetulnya adalah hal normal yang mereka lakukan di usia mereka. Mereka cuma lagi asyik menikmati jadi anak-anak. Yang mereka butuhkan dari kita hanyalah pengarahan agar perbuatan mereka nggak melewati batas wajar serta nggak membahayakan dan merugikan orang lain. Jika kita berhasil mengembalikan kesadaran ini, pasti kita nggak dikit-dikit menegur atau memberi konsekuensi pada anak.
Ternyata, banyak yaa hal-hal yang perlu kita renungkan kembali saat anak berbuat salah. Kalau mommies sendiri, pernah melakukan kesilapan apa saat anak berbuat salah?
Baca juga: 8 Hal yang Perlu Diingat Ayah & Ibu Saat Membesarkan Anak
Share Article
COMMENTS