Walau terms and condition media sosial macam Facebook, Instagram dan Tiktok membolehkan anak dengan usia minimal 13 tahun punya akun sosmed, bukan berarti mereka bebas lepas dalam mengelolanya.
Anak di bawah 18 tahun punya akun media sosial harus ada aturannya. Bagaimana pun tanggung jawab anak masih ada pada orangtua.
“Orangtua butuh dan harus mengawasi serta mendampingi anak di bawah 18 tahun berinteraksi di media sosial,” jelas Firesta Farizal, M.Psi.,. Supaya si anak terutama yang remaja itu nggak merasa terlalu dikekang, dan nggak merasa dicurigai terus-terusan, dalam menentukan aturan sebaiknya disepakati bersama.
Baca juga: Akibat Social Media Anak Jadi Konsumtif. Benarkah?
Bahkan sebelum membuat akun media sosial, ketika mommies memutuskan untuk membelikan anak smartphone, aturan dan kesepakatan termasuk di dalamnya mengelola akun media sosial, sudah harus ditentukan sebelumnya.
Jadi, kita pun tetap butuh cek handphonenya. Kita juga bisa mengajak anak bersepakat kapan saja ia boleh pegang smartphone, atau jika memungkinkan di malam hari jelang tidur, smartphone diserahkan pada orangtua. Hal ini juga membantunya untuk tetap punya waktu istirahat yang cukup. Maklum, yang baru punya smartphone, kalau dibiarkan, bisa whatsappan, browsing Instagram, hingga main game sampai larut malam.
Tergantung juga nilai-nilai yang diberikan. Ada juga, kok, orangtua yang membuat kesepakatan bahwa dialah yang akan mengelola akun media sosial hingga anak berusia 17 tahun. Siapa pun yang mau jadi follower, harus lewat filter mama. Sah-sah saja. Nah, ketika ia sudah berusia 16 tahun, mungkin ada kesepakatan baru, seperti misalnya orangtua tidak perlu tahu password, tapi mommies diizinkan untuk memfilter akunnya sewaktu-waktu.
Yang namanya kesepakatan, ya, artinya harus sudah didiskusikan dan hasil akhirnya disetujui bersama. Bukan cuma salah satu pihak saja. Iya, sih, yang namanya orangtua pasti gatal dan gemas menentukan semua aturan. Tapi jangan lupa, anak-anak, terutama di usia remaja butuh didengar suaranya. Jangan sampai aturan dibuat untuk dilanggar. Lalu anak merasa kesal karena nggak didengarkan usulannya. Kalau begitu ngapain ngajak diskusi?
Baca juga: 5 Kesalahan Orangtua yang Sebabkan Sibling Rivalry
Mbak Firesta juga mengingatkan, supaya anak bersedia berdiskusi dan kemudian menjalankan kesepakatan sesuai aturan, butuh hubungan yang baik antara orangtua dan anak. Kalau nggak punya hubungan yang baik, dan anak nggak bisa connect dengan orangtuanya, hampir bisa dipastikan kesepakatan akan sulit dicapai. Terlebih dalam menjalankan aturannya, kita pun nggak akan didengarkan saat menegur jika ada kesepakatan yang dilanggar.
“Prinsipnya adalah connection before correction,” tambah mbak Firesta. Bangun dulu koneksi yang baik dengan anak, sehingga anak merasa punya hubungan yang aman dengan orangtua. Ia pun paham, aturan-aturan hasil kesepakatan tersebut adalah untuk kebaikannya.
Image source: Freepik.com