Anak nangis penuh emosi sampai berteriak, sudah dikasih yang dimau, tidak kunjung diam, sebenarnya kenapa? Tantrum atau Sensory meltdown?
Usia 2 tahun, anak kian menunjukkan “keajaiban” dalam tingkah lakunya. Banyak hal yang pasti membuat kita senyum dan kagum dalam hati, sebaliknya, pasti kepala juga makin sering berasap, terutama ketika si kecil kekeuh minta sesuatu yang kita larang.
Reaksinya macam-macam, dari nangis tersedu-sedu, nangis sambil merengek, nangis sambil berteriak, dan tentu, yang paling menguji kesabaran kita, yaitu nangis sambil berteriak diikuti dengan bagian tubuh yang tegang, entah tangannya yang memukul atau kepalanya yang dientak-entakkan ke tubuh kita ketika kita berusaha memeluknya, dan lebih parahnya lagi, mengguling-gulingkan badannya di lantai. (Mama boleh menghilang sekejap aja nggak, sih?)
Kita semua tahu reaksi tersebut adalah ciri ketika anak mengalami tantrum. Memang, sih, satu-satunya yang perlu orangtua lakukan adalah bersabar, bukan ikut melampiaskan emosi dengan berteriak dan marah saking kesalnya. Tapi, kan, kalau kata ibu-ibu ketika mendapatkan sebuah content di Instagram yang membahas tentang tantrum pada anak dan cara mengatasinya yaitu kudu sabar, pasti rata-rata pada bilang, “Nggak semudah itu, Ferguso!”.
Yasmine Nur Edwina, M.Psi., Psikolog Anak dan Keluarga di TigaGenerasi menjelaskan bahwa ada hal lain, lho, yang justru lebih butuh dijadikan perhatian orangtua ketika mendapati anaknya yang sedang tantrum:
Hal ini jauh lebih penting kita pahami ketimbang cara mengontrol emosi kita saat menghadapi anak tantrum. Kitalah yang terlebih dahulu perlu memiliki kemampuan untuk mengerti perasaan anak. Karena selain tantrum, anak mungkin mengalami yang namanya sensory meltdown.
Amanda Morin, penulis buku The Everything Parent’s Guide to Special Education menjelaskan bahwa tantrum adalah ledakan emosi ketika anak berusaha mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan. Sedangkan sensory meltdown adalah reaksi atas perasaan tidak nyaman atau kewalahan. Reaksi tersebut bisa jadi berlebihan karena anak menerima terlalu banyak rangsangan sensorik.
Anak yang tantrum biasanya akan tenang ketika diperbolehkan atau diberikan kesempatan untuk melakukan keinginannya. Pada anak yang mengalami meltdown, ia justru tidak berhenti berteriak, menendang, atau mengamuk meskipun sudah ketemu dengan keinginannya. Hal ini terjadi karena masalah yang dihadapi anak bukan pada mainannya, namun pada gangguan respon tubuh terhadap rangsangan sensorik yang ia terima. Anak tidak paham apa yang ia inginkan dan tidak ada tujuan tertentu dari sikapnya.
Anak bisa mengalami sensory meltdown ketika mendapatkan rangsangan yang berlebihan maupun ketika merasa kurang atau butuh stimulasi rangsangan. Hal ini kerap terjadi ketika adanya perubahan situasi dan rutinitas yang dirasa cukup menantang bagi anak, di mana anak mengalami kesulitan menjalani masa transisi, kurangnya kemampuan dalam berkomunikasi dengan jelas, kurang tidur, serta kekurangan nutrisi.
Selain tentu, tetap memvalidasi perasaan yang ia rasakan, yang bisa kita lakukan adalah mengurangi rangsangan sensorik di sekitarnya, seperti suara bising ketika berada di tempat ramai dan terlalu banyak orang, bisa jadi hal tersebut yang menjadi sumber gangguan pada anak. Ajak anak untuk pindah ke tempat yang lebih sunyi, tenangkan dengan mengajaknya menarik napas panjang, sambil kita peluk atau gendong.
Tantrum dapat berkurang dengan sendirinya seiring dengan pertumbuhan anak, semakin besar, ia akan lebih mampu mendeskripsikan perasaannya lewat kata-kata dan juga mengontrol emosinya, bila kita terus mengajarkan anak cara yang bisa ia lakukan ketika sedang marah maupun sedih. Sementara, sensory meltdown memerlukan terapi khusus oleh dokter dari klinik tumbuh kembang anak untuk membantu tubuh anak mengolah rangsangan yang ia terima. Terutama ketika anak menunjukkan tanda-tanda berikut ini:
Baca juga:
Lakukan Hal Ini untuk Balita 2 Tahun yang Hobi Lempar-Lempar Barang
Fase Tantrum pada Balita
Sulit Mendisiplinkan Balita Bukan Berarti Tidak Bisa, Begini Caranya