Snowplow Parenting: Saat Orangtua Selalu Membereskan Rintangan yang Dihadapi Anak

Self

Ficky Yusrini・04 Aug 2020

detail-thumb

Snowplow parenting, saat orang tua selalu membereskan setiap rintangan yang dihadapi anak. Apakah kita termasuk di dalamnya?

Tahun lalu, Amerika Serikat digegerkan oleh skandal penerimaan murid baru di kampus elit. Jaksa federal mendakwa lebih dari 50 orangtua yang berpartisipasi dalam skandal tersebut. Mungkin kalau di sini, istilahnya bayar joki untuk ikut tes masuk, agar anak bisa diterima. Tak tanggung-tanggung, ke-50 orang tersebut adalah eksekutif perusahaan top, CEO, kalangan kaya, dan selebritas. Termasuk di antaranya, Felicity Huffman. Felicity ketahuan membayar 15 ribu dolar AS (sekitar Rp220 juta), lewat cara joki, demi anaknya bisa lolos tes. Dari skandal ini lalu muncullah label baru, yakni Snowplow parenting.

Snowplow parenting ini kalau diterjemahkan, kira-kira semacam Tipe Sekop. Membersihkan jalan bagi anak-anak mereka, melindungi mereka dari kesulitan, rintangan, hambatan, risiko, kegagalan, dan potensi kekecewaan dari setiap proses kehidupan. Sebetulnya, fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan anak-anak dari keluarga privileged saja. Kebetulan, pada keluarga kaya, mereka punya sumber daya tak terbatas, termasuk uang dan kekuasaan, untuk mewujudkan keinginan anaknya. Skandal yang dialami Felicity tersebut hanya sebuah contoh ekstrem tentang bagaimana praktik snowplow parenting ini.

Baca juga:

10 Keterampilan Pengasuhan yang Perlu Diketahui Orangtua

Snowplow Parenting - Mommies Daily

Photo by Andrey Metelev on Unsplash

Ada banyak contoh-contoh snowplowing lain yang mungkin tanpa sadar kita juga lakukan. Hal-hal kecil yang mungkin kita (atau sebagian dari kita) anggap wajar, tapi lalu menjadi sebuah attitude atau sikap mental yang susah dihilangkan, sampai-sampai kita tidak akan sadar kalau terjerat terlalu dalam. Karena sudah kebiasaan, dari anak masih kecil, dia sudah SMA pun kita masih saja campur tangan. Dia kuliah, masih dibantu juga. Sampai-sampai di AS, banyak lho, orangtua yang tidak segan-segan ‘melabrak’ bos anaknya yang sudah kerja, di kantor, kalau bosnya mempersulit hidup anaknya. Boo!

Baca juga:

5 Hal yang Memengaruhi Rasa Percaya Diri Anak

Ini bukan soal salah benar, atau moralitas, sebab setiap orangtua pasti punya argumentasi dan prinsip hidupnya masing-masing. Kebenaran (tentang parenting) itu akhirnya memang bersifat subyektif. Tetapi, di sini, kita bisa mendasarkan penilaian kita pada dua hal: common sense dan hukum alam. Nah, silakan dinilai sendiri, ya. Dari contoh-contoh sikap ‘sekop’  atau snowplow parenting berikut ini, mana yang kira-kira pernah, atau akan Anda lakukan. Mana yang menurut Anda benar, atau salah (dalam arti, untuk pertumbuhan anak). Mana yang keterlaluan, mana yang memang harus dilakukan.

Baca juga:

Mengajarkan Anak Bisa Mengambil Keputusan Sejak Balita

• Mendaftarkan anak di Playgroup favorit, sejak anak masih di kandungan.

• Membersihkan lantai dari berbagai rintangan yang mungkin membuat balita terjatuh dan mengamankan setiap sudut rumah dari hal-hal yang bisa mencederai anak.

• Mengambil alih tugas sekolah anak yang menumpuk.

• Saat anak terlihat stres, melakukan sesuatu, seperti membicarakannya dengan guru agar tidak memberikan beban yang berlebihan.

• Sedikit-sedikit protes dan intervensi ke guru, dari hal kecil sampai hal besar. Misal,”Bisa nggak, jangan pake zoom. Pake Meet aja.” “Buat dong, kelas-kelas kecil, kayak 1 guru untuk 5 anak. Untuk memastikan semua anak diperhatikan.” “Saya tidak setuju kalau walasnya ibu A. Dia galak banget.”

• Mengeluarkan anak dari sekolah, jika anak tampak tidak betah, tidak nyaman, atau tidak menunjukkan perkembangan.

• Membuat surat katebelece atau menyuap, agar anak diterima masuk di sekolah yang diincar.

• Mengirimkan broadcast akun Instagram atau Youtube anak, untuk minta likes sebanyak-banyaknya.

• Saat anak di-bully di sekolah, mendatangi pelaku bully dan mendampratnya habis-habisan agar ia tak mengulangi perbuatannya.

• Saat anak dihukum oleh guru, langsung menghadap ke kepala sekolah, agar guru diberi pelajaran.

• Terlalu memikirkan kebahagiaan anak, sampai tidak mau memberikan tugas yang tidak menyenangkan buat anak.

• Membiarkan anak bermain gadget sepuasnya, dan menganggap bahwa itu adalah passion anak.

• Membujuk coach atau pelatih atlet (kalau perlu membayar), agar anak bisa ikut turnamen.

• Tidak terima jika anak kalah dalam lomba, atau tidak diikutkan lomba.

• Tidak terima jika anak tidak terpilih dalam klub, komunitas, atau seleksi OSIS, yang diminati anak.

• Mengikutkan anak pada program prestisius yang sedang ngetren.

Ada berbagai rintangan di dunia luas yang akan dihadapi anak. Kapan kita harus membiarkannya jatuh, kapan harus mengambil jarak, dan kapan harus mengambil tindakan untuk menyelamatkannya dari ‘kehancuran’. Di situlah, seninya jadi orangtua.

Baca juga:

Sudahkah Kita Menyiapkan Hal-hal Ini Untuk Anak Kita?

Peran Ayah Bukan Hanya Mesin ATM Keluarga