Sorry, we couldn't find any article matching ''
Kunci Hidup Bahagia: Hubungan yang Berkualitas
Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Riset dalam durasi terlama dalam sejarah, mengungkap, relationship yang berkualitas adalah segalanya.
Ngomongin relationship, saya jadi ingat, seorang teman pernah bilang ke saya, ia iri pada seorang teman, sebut saja dengan W. Kecantikannya menyamai dewi-dewi. Dalam hal status sosial, W setara dengan sosialita. Punya segalanya. Hanya satu kekurangannya, W tidak pernah menampilkan foto suami, padahal ia sosok yang senang posting story.
Suatu kali, saya terkejut baca ‘ghibahan’ di Twitter yang menampilkan foto W. “Lho, ini kan temenku.” Kata sebuah akun di Twitter, W diberitakan sebagai istri simpanan seorang petinggi. Ah, sudahlah. Saya memutuskan untuk tidak ikut campur.
Ada lagi, teman yang usianya terpaut sedikit di bawah saya, masih lajang dan sepertinya menikmati kelajangannya. Jangan salah, ia punya pacar dan hubungan mereka juga terlihat cukup settle. Teman saya ini suka pada anak-anak dan hal-hal yang berbau parenting.
Ia bahkan mendalami metode homeschooling. Tapi sampai sekarang, saya tak pernah komentar, “Buruan, gih, kawin!” Walaupun rasanya mulut ini gatal pingin ngomong begitu. Di mata saya, kehidupan teman yang satu ini sangat jauh dari kesepian. Ia sangat peduli dengan teman-temannya.
Masalah relationship memang selalu memikat untuk dibahas. Saya pernah menemukan sebuah video menarik di TedX. Video berdurasi 12 menit yang dibawakan oleh psikiater Harvard, Robert Waldinger, ini sudah ditonton lebih dari 16 juta kali.
Robert Waldinger memimpin riset Perkembangan Orang Dewasa di Harvard. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu, apa sebetulnya hidup yang baik, yang bisa membuat manusia bahagia dan lebih sehat?
Pertanyaan filosofis yang dicari manusia selama ribuan tahun. Penelitian itu telah mulai dilakukan sejak tahun 1938 dengan responden ratusan pria. Sebanyak 268 lulusan Harvard, dan 456 dari kelas menengah ke bawah. Setiap beberapa tahun, mereka diwawancara, tentang apa yang membuat mereka bertumbuh, apa yang membuat mereka sukses, dan apa yang membuat mereka bahagia.
Responden ini juga ditanyai tentang aspirasi, kehidupan pernikahan, kehidupan kerja, kegiatan sosial, serta dipantau kesehatan fisiknya. Para responden terus dipantau hingga mereka berusia 80 tahun-an. Penelitian berlanjut dengan mewawancarai anak-anak dari responden sebelumnya.
Banyak orang berkeinginan untuk bisa punya banyak uang, terkenal, punya jabatan tinggi, dan sebagainya. Sebuah tujuan hidup yang dikira akan mendatangkan kebahagiaan. Ternyata, Robert mengatakan, kebahagiaan itu tidak ada hubungannya dengan kekayaan maupun ketenaran.
Good Life = Good Relationship
"Temuan terbesar kami adalah bahwa orang yang paling bahagia adalah orang-orang yang memiliki hubungan dekat yang baik dengan orang lain," kata Robert. Dengan kata lain, the good life is built with good relationships. Kehidupan yang baik dibangun dari hubungan yang baik. Titik.
Relationship ini bukan berarti hanya orang yang menikah saja yang bisa bahagia. Belum tentu. Robert menjelaskan, yang terpenting adalah kepuasan dan kualitas dari hubungan yang dimiliki. “Perasaan seperti ada orang di dunia yang benar-benar mendukung Anda, yang akan menjadi jaring pengaman Anda, sangat penting, bukan hanya untuk kebahagiaan, tetapi juga bagi kesehatan," kata Robert.
“Mereka yang di usia 50 tahun punya kepuasan terhadap hubungan, akan sehat di usia 80 tahunnya. Mereka yang bahagia dia partner hidupnya, walaupun mereka pernah mengalami sakit atau kondisi fisik menurun, tapi mood mereka terjaga dan mereka tetap happy. Hal yang sama berlaku, bagi mereka yang hubungannya tidak harmonis, saat mereka mengalami sakit, kondisi emosionalnya pun kian terpuruk.”
Pelajaran lain dari riset ini, kata Robert, hubungan yang baik bukan hanya mampu melindungi tubuh kita, tapi juga berpengaruh pada otak kita. Berapa dalam hubungan dekat yang harmonis, ingatan mereka akan lebih tajam dan melekat lebih lama pada masa tuanya.
Relationship dan Kesepian
Lajang belum tentu kesepian. Begitupun, mereka yang menikah, belum tentu tidak kesepian. Mereka yang punya banyak teman, bisa saja merasa kesepian. Dan, mereka yang tidak punya teman, belum tentu merasa kesepian. Sebuah penelitian lain dari Fakultas Kedokteran Universitas Florida, Amerika Serikat, mengungkap, perasaan kesepian bisa dialami oleh siapapun. Kesepian ini memengaruhi Kesehatan, salah satunya, meningkatkan risiko demensia sebesar 40 person.
Studi yang melibatkan 12 ribu partisipan yang berusia 50 tahun ke atas, dalam kurun waktu selama 10 tahun ini dipublikasikan dalam Journal of Gerontology: Psychological Sciences tahun 2018. Menurut Angela Sutin, yang mengetuai penelitian, “Yang dimaksud kesepian di sini adalah perasaan subyektif bahwa Anda merasa tidak cocok dengan orang-orang di sekitar Anda.”
Bisa saja seseorang hidup sendirian, tanpa kontak dengan siapa pun. Tetapi, kebutuhan internal untuk bersosialisasi dalam dirinya tidak merasa kekurangan, sehingga ia tak merasa kesepian. “Sebaliknya, ada orang yang terlibat aktif secara sosial, dikelilingi banyak teman, tetapi ada perasaan subyektif dalam dirinya bahwa ia bukan bagian dari grup tersebut,” demikian jelas Angela.
Hal yang sama juga berlaku dalam pernikahan. Ketika seseorang merasa tidak seiring lagi dengan pasangannya, akan cenderung merasakan kesepian.
Baca juga:
Karantina Berbulan-bulan dengan Pasangan Mengajarkan Saya Bahwa Pernikahan Itu …
Mindset Wajib dalam Pernikahan: Sebagai Suami Istri, Kita Adalah Satu Tim!
5 Hal tentang Pernikahan yang Bisa Jadi Pelajaran untuk Anak di Masa Depan
Share Article
COMMENTS