Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Pendidikan karakter dibentuk dari keluarga. Dari sastra, kita juga bisa mengambil pelajaran tentang bagaimana menanamkan pendidikan karakter pada anak.
NH Dini adalah salah satu sastrawan Indonesia favorit saya sepanjang masa. Ada banyak harta karun berharga yang saya temukan dengan membaca kembali karya-karyanya. ‘Bertapa’ #dirumahaja menjadi kesempatan yang tidak saya sia-siakan untuk membaca buku.
Salah satu karya yang belum lama saya baca, dan membuat saya amat terkesan adalah novel NH Dini berjudul Sekayu. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1979 dan sudah cetak ulang beberapa kali. Jika dicari di marketplace pun masih ada yang menjual buku ini.
Di hari keluarga internasional, yang diperingati tanggal 15 Mei, saya jadi ingat kembali pada novel ini. Menurut saya, ada banyak pelajaran menarik dan nilai-nilai tentang keluarga yang bisa diambil dari kisahnya.
Sedikit tentang Sekayu, buku ini sebetulnya tidak bisa dibilang novel, karena punya banyak kesamaan sejarah dengan kisah hidup pengarangnya sendiri, mungkin lebih tepat dikatakan semi-autobiography.
Ceritanya sederhana, tentang penulis saat berusia remaja (kelas 6 SD), yang tumbuh di kota Semarang, pada era setelah kemerdekaan, tahun 1950-an. Tentang gadis remaja melihat dunia dan orang-orang di sekitarnya, untuk pertama kalinya. Buku yang saya kira sangat bagus juga untuk dibaca oleh anak (remaja).
Remaja ini menghadapi tekanan karena kondisi keluarga yang miskin, setelah ayahnya meninggal. Ia merasakan kesulitan finansial yang dialami oleh ibunya. Akan tetapi, ia tumbuh dengan nilai keluarga yang tidak menganggap harta itu penting dan bukan menjadi sesuatu yang harus dikejar. Ia tidak meletakkan kebahagiaannya pada kepemilikan kebendaan, yang mungkin kalau istilah sekarang adalah konsumerisme.
Gadis itu menemukan jalan keluar dari tekanan kemiskinan itu dengan menjadi penulis, di usia yang masih duduk di bangku SMP. Dia mulai menulis puisi untuk radio dan mengikuti kompetisi menulis cerpen, guna membantu ibunya.
Namun, hal ini tidak membuatnya asal menulis demi uang, ia memiliki prinsip pentingnya kesempurnaan dalam mengerjakan segala sesuatu (perfect execution). Ia hanya akan mengirimkan karya setelah dia puas dengan isinya. Sikapnya atas kebendaan ini penting dilihat karena menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, tidak menganggapnya lebih tinggi atau rendah dari yang lain.
“Jangan sampai aku menjadi budak kebutuhan uang, lalu menyerahkan hasil tulisan yang kuanggap ‘belum kusukai’.”
Gadis ini sudah bersikap merdeka, merasa setara dan tidak mau bergantung pada orang lain. Pandangan yang ia dapatkan dari pendidikan keluarganya. Dalam keluarga, tidak ada pembedaan gender. Saat sedang dekat dengan lawan jenis, gadis ini bisa menilai dan merasa tidak nyaman dengan lelaki yang memiliki pandangan tradisional tentang perempuan.
Misalnya, saat ia dikritik, sebagai gadis dianggap tidak sepantasnya mengenakan pakaian seperti laki-laki, ia tidak menggubrisnya. “Bapak tidak pernah peduli bagaimana pakaian orang. Pakaian tidak pernah menunjukkan sifat orang yang terbungkus di dalamnya. Yang penting, sikap orang tersebut. Pakaian hanya merupakan pandangan lahiriah. Ibu juga tidak berkeberatan melihat putrinya berpakaian seperti laki-laki. Ibu mengetahui, kami benar-benar bersikap dan berpekerti wanita.”
Remaja ini aktif di komunitas kebudayaan Jawa, senang menonton wayang, belajar karawitan, menabuh gamelan, dan aktif menari Jawa. Sejak kecil, ibunya selalu menyanyikannya tembang-tembang dan puisi Jawa. Keluarga menanamkan pentingnya pendidikan kejawaan untuk anak (karena ia lahir dan besar di Jawa). Jawa dengan segala filosofinya, yang sekarang semakin menjadi asing dan nyaris punah.
“Dia menyukaiku karena sebagai manusia aku menari, menembang, menabuh gamelan, dan mengutamakan pendidikan Jawa sesempurnanya.”
Kalau istilah sekarang, pendidikan karakter atau adab, penulis mendapatkannya dari keluarga. Pendidikan karakter itu pula yang mendasari penilaiannya terhadap orang-orang yang ia temui di masa ia beranjak dewasa.
“Kami sesaudara diajar menuruti garis-garis aturan yang sederhana, namun tidak pernah meninggalkan tata cara kesopanan terhadap sesama hidup. Apabila ada orang di sekelilingku yang menyebal dari aturan pergaulan yang semacam itu, hatiku merasa terpukul dan terperanjat. Itu sudah cukup mendasari penilaianku terhadap manusia-manusia yang kemudian kujumpai.”
Ayah penulis meninggal di akhir-akhir ia duduk di bangku Sekolah Dasar. Sejak itulah, ia merasakan kuatnya pengaruh sosok ayah dalam hidupnya. Lebih dari sekadar sosok pemberi nafkah keluarga dan penopang rumah.
“Dari dalam lubuk hati, aku merasa memerlukan seorang laki-laki. Aku memerlukan kehadirannya, bukan untuk mengganti bapakku, tetapi yang dapat menolongku dengan pandangan hidup.”
Baca juga:
Buku Marie Kondo untuk Anak, Tentang Pertemanan & Belajar Merapikan
Era Digital: Kembali ke Buku, Mungkin Kah?
Alihkan Dunia Anak Remaja Mommies dari Gadget dengan 10 Buku Ini