Sorry, we couldn't find any article matching ''
Puasa dan Atmosfer Belajar di Rumah
Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Di bulan suci ini bukan bagaimana mendidik anak, tetapi tentang mendidik diri kita sendiri sebagai orangtua. Kita yang harus membenahi diri. Sebab, pendidikan adalah atmosfer. Anak akan menghirup atmosfer kita, orangtuanya.
Kapan pertama kali anak Anda belajar berpuasa? Mungkin jawabannya bisa berbeda-beda. Anak saya termasuk yang agak lambat, usia 7 tahun dia baru bersedia latihan puasa. Baru belajar, ya. Belum full. Menginjak usia awal remaja, yakni 12 tahun, ia sudah beberapa kali ini menjalani puasa ramadhan secara penuh. Akan tetapi, bukannya tanpa PR, semakin besar anak, PR itu tetap ada, bu ibu. Saya merasakan, setiap tahun, ada saja hal-hal baru yang saya pelajari, dari menanamkan kebiasaan berpuasa ke anak.
Mengisi waktu
Saya ingat, awal-awal anak puasa, tantangannya adalah bagaimana menghadapi kebosanan. Saat anak merasa bosan, ia akan ingat pada rasa lapar serta hausnya. Dikit-dikit lihat jam. “Bu, berapa lama lagi buka?”, “Aah, masih lama banget!” Pada level ini, rasanya tergoda banget, untuk membuatnya lupa waktu dan mengalihkan rasa bosannya. Kasih game, teve, gadget. Beres! Tapi saya kuat-kuatkan dan tega-tegain, membiarkan anak menghadapi kebosanannya. Saya bisa membayangkan, anak-anak lain di usia-usia awal berpuasa di masa korona seperti sekarang, pasti tantangannya jauh lebih berat. Cobaannya tambah, nggak bisa kemana-mana. Sekarang, masalah kebosanan dan mengisi waktu ini juga masih menjadi PR.
Biasanya, pagi hari, saya akan tanya ke anak, “Jadi, apa jadwalmu hari ini?” Untuk memberi ruang buat dia berinisiatif menyusun sendiri jadwal hidupnya. Kadang-kadang, jawabnya lengkap. Ada tugas sekolah, tugas rumah, tugas dari emak (hihihi…), tugas belajar, tugas berolahraga, baru hal-hal yang bersifat kesenangannya. Kadang, cuma mengangkat bahu, artinya lagi nggak punya ide mau ngapain. Nah, kalau sudah begini, baru saya turun tangan. Sebetulnya aktivitasnya sama, cuma waktunya bisa dia sendiri yang atur mau kapan dilakukan. Setidaknya, dengan cara ini, keputusan ada di tangan anak dan emaknya tidak perlu sedikit-sedikit nyuruh dan ingetin.
Menahan nafsu jajan
Anak saya termasuk anak yang berat badannya agak kurang. Tulang menonjol di mana-mana. Masa #dirumahaja ini membuat nafsu makannya melonjak drastis. Alhasil, saya tambah jatah makannya jadi 4x, plus selalu sedia buah maupun camilan. Padahal, biasanya, di hari-hari sekolah, nafsu makannya biasa-biasa saja. Giliran di rumah, menggila. Mungkin, karena sedang masa pertumbuhan juga. Memasuki puasa, saya sempat was-was. Badannya yang sedang mulai terisi ‘daging’ itu jadi setback lagi. Tak apalah.
Puasa juga berarti menahan diri dari nafsu jajan. Anak saya sudah mengalami sendiri, bagaimana puasa membuatnya kalap mata. “Bu, nanti buka harus ada ini, ini, ini. Mau ini ini ini!” Banyak, deh, maunya. Apalagi kalau diajakin jajan takjil di jalan, pinginnya borong. Ternyata, pada saat buka, hanya dengan segelas air putih saja seluruh dahaga, bahkan rasa laparnya hilang. Makan malam sepiring dalam porsi kecil saja sudah membuatnya kekenyangan. Mata ngantuk, badan berat, dan bawaannya pingin rebahan. Sekarang, berbuka dengan segelas teh dan nasi lauk tempe saja, dia sudah senang.
Tanpa paksaan dan reward
Iseng saya tanya ke anak, “Kenapa sih, kamu mau puasa?” Ia jawab,”Ya, karena wajib.” Sejak dulu, saya tak pernah mengiming-iminginya hadiah agar ia mau menyelesaikan puasa. Pun, saat saya mengajaknya berpuasa sunnah di luar bulan ramadhan, beberapa kali ia menyanggupinya. Walaupun itu bukan puasa wajib. “Mau coba-coba aja, experience,” katanya, tentang puasa sunnah. Prinsip tanpa paksaan dan reward ini juga saya terapkan dalam kegiatan ibadah lainnya, seperti mengaji dan hafalan. Pengalaman saya, pelan-pelan, sisipkan saja ke jadwal harian anak, sedikit demi sedikit, sampai anak tak merasa perlu bertanya lagi, kenapa ia harus melakukannya.
Mendisiplinkan diri
Siapa yang tak punya masalah dengan bangun sahur? Bangun sih, gampang. Tinggal pasang alarm. Tapi butuh tekad yang kuat untuk bisa membuka mata. Saya rasa semua orang merasakannya. Terlebih lagi anak. Bagaimana membuat dirinya mau bangun sendiri, membuka mata, memasak sahur (iya, anak saya memasak sahur untuk dirinya sendiri), sampai menyelesaikan makannya, tepat sebelum waktu imsak, adalah proses pembelajaran disiplin diri yang sangat bagus buat anak. Anak harus belajar mengatur dan menyuruh dirinya sendiri untuk melakukan hal yang benar, yang tidak selalu ia sukai. Motivasi harus datang dari dalam dirinya sendiri. Kalau dulu, anak susah sekali dibangunin, sampai kadang harus diangkat dari tempat tidurnya dan didudukkan di kursi makan. Sekarang, posisinya sudah kebalik, anak yang tiap pagi membangunkan saya untuk sahur.
Menciptakan atmosfer
Hal terpenting di bulan suci ini sebetulnya bukanlah bagaimana mendidik anak, tetapi tentang mendidik diri kita sendiri sebagai orangtua yang terus bertumbuh. Kita yang harus membenahi diri, menentukan untuk diri kita dulu, ingin kita isi dengan apa bulan ramadhan ini. Dengan sendirinya, anak akan terikut dengan semangat kita. Sebab, pendidikan adalah atmosfer. Anak akan menghirup atmosfer kita, orangtuanya.
Baca juga:
Apa yang Anak Pelajari dari Rasa Bosan?
Menjadi Orang tua yang Bertumbuh
Share Article
COMMENTS