Ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga oleh pasangan atau toxic parents di masa karantina, apa yang bisa kita lakukan?
Hadirnya Covid-19 yang memaksa semua orang karantina di rumah masing-masing untuk jangka waktu yang tidak jelas sampai kapan ternyata menimbulkan problem baru …… meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut berita yang dilansir di sini, beberapa negara berikut ini dilaporkan mengalami peningkatan kasus KDRT: Prancis meningkat 30%, Spanyol meningkat 18% demikian juga Cina dan Amerika Serikat.
Sedihnya, dengan kondisi sekarang ini, maka keluar rumah untuk menjauh sejenak mencari perlindungan bisa dikatakan mustahil. Maka apa yang bisa kita lakukan? Berikut penjelasan dari Nadya Pramesrani, Psikolog Keluarga dan Pernikahan dari Rumah Dandelion
Ketika terus-menerus berdekatan, apalagi bukan karena pilihan pribadi (dalam hal ini karena mengikuti anjuran pemerintah), maka jamak terjadi bila intensitas konflik dalam suatu hubungan bisa meningkat. Tanpa ada konflik, situasi karantina saja memang sudah rawan stress. Beberapa penelitian menemukan keadaan terisolasi berisiko untuk individu mengalami PTSD, depresi, kecemasan, dan ancaman kesehatan mental lainnya.
Dalam kasus KDRT, John Gottman mengatakan bahwa pelaku biasanya terbagi dua: Characterological & Situational. Yang kedua inilah yang bisa menjadi penyebab KDRT saat ini meningkat, karena stress di rumah saja, stress kehilangan pekerjaan, stress karena pendapatan berkurang, dan isu-isu lainnya.
Mengutip Gottman dalam bukunya (10 Principles for Doing Effective Couples Therapy) “Situational domestic violence arises from arguments spinning out of control. Both partners tend to be mildly violent, using slaps or shoves to stress their points.”
Kontak anggota keluarga lain, teman, atau bantuan online untuk memberikan dukungan emosional, agar korban tidak mengembangkan keyakinan bahwa ia sendiri di dunia ini dan tidak ada yang bisa menolongnya, sehingga ia menjadi “pasrah” diperlakukan tidak baik.
Keyakinan yang biasanya dimiliki korban KDRT adalah “Saya tidak punya siapa-siapa, saya hanya punya pasangan, saya memang layak diperlakukan seperti ini karena saya tidak menghargai pasangan yang blablabla.” Ini makanya penting untuk tetap menjaga hubungan dengan dunia luar.
Ketika KDRT terjadi karena faktor Situasional, maka membenahi kualitas hubungan dapat dilakukan, sendiri (bila mampu) atau menggunakan bantuan professional (online couples therapy). Berdayakan diri dengan membaca atau berdiskusi tentang strategi efektif dalam menghadapi konflik dengan pasangan (Teknik komunikasi, Teknik menenangkan diri, dll).
Namun, bila KDRT terjadi karena faktor Characterological, lebih baik karantina diri di rumah anggota keluarga lain. Lagi-lagi mengutip Gottman dari penelitian dan kasus-kasusnya terhadap pasangan-pasangan KDRT “Characterological domestic violence presents a different story. One partner is a perpetrator; the other, a victim. The perpetrator takes no responsibility for the violence and instead blames the victim for causing it. There’s nothing the victim can do to stop the violence, which often causes her major injuries or even death. Victims are mostly female.”
Ketika ada nyawa yang terancam. Satu hal yang perlu diketahui bahwa ketika KDRT terjadi karena faktor situational, biasanya posisi antara suami istri seimbang, dan masih mungkin muncul rasa bersalah di kedua belah pihak sehingga lebih terbuka untuk melakukan perbaikan
Namun, bila karena faktor karakter, pelaku biasanya melakukan kekerasan sebagai bentuk dominasinya terhadap pasangan. Mengecilkan pasangan, dan justru ingin memutus kontak pasangan dengan dunia luar. Semakin lama kondisi karantina berlangsung, semakin tinggi resiko keselamatan i korban ini. So get out as soon as possible.
Pindahkan anak ke tempat aman (masuk ke kamar misalnya)
Tenangkan mereka, beri mereka rasa nyaman dan aman bahwa apa yang terjadi di antara kedua orangtua bukan karena mereka.
Berikan rasa aman bahwa hal tersebut tidak akan terulang lagi
Ketika situasi sudah lebih tenang, diskusi sama anak tentang how they feel, repair the situation (orang tua bisa meminta maaf karena membuat anak takut)
Kalau toxic parents dalam artian KDRT, put physical boundaries dan minimize contact. If you’re an adult already, you have power and ability to ask them stop, firmly.
Kalau konteksnya dinamika hubungan, pemberdayaan diri sendiri lebih diutamakan. Kemampuan regulasi dan menenangkan diri perlu diperkuat agar tidak “ketarik” ke pola hubungan yang toxic dengan orangtua.
Seringkali, toxic parents juga disebabkan oleh ketidakmampuan orangtua dalam mengomunikasikan pikiran dan perasaannya, sehingga seringkali keluar dalam perilaku yang toxic. If possible, maybe this is the time to fix/repair the quality of your relationship. Anak yang sudah usia dewasa juha perlu bonding kembali dengan orangtua lansianya.
Prinsipnya sama seperti menjaga level kewarasan di tengah periode karantina ini, supaya badan dan emosional fit menghadapi “drama” apa pun di rumah, usahakan setiap hari makan makanan bergizi, tidur cukup (jangan Netflix-an sampai subuh) karena sleep deprivation dapat berdampak pada kemampuan seseorang meregulasi emosi, pastikan mendapat asupan sinar matahari (karena sinar matahari dapat menurunkan resiko depresi), dan olahraga/bergerak (karena ini dapat menjadi salah satu channel yang efektif dalam menyalurkan energi negatif seperti marah, kesal, atau frustrasi).
Stay safe semua ….. ingat, kalian tidak sendiri
Baca juga: