Hal pertama yang saya siapkan adalah finansial karena saya tak ingin hanya mengandalkan mantan.
Bagi Anjar Prawesti, seorang ASN di sebuah instansi pemerintah, dan ibu dari Deanna (12 tahun) memutuskan untuk bercerai bukanlah hal yang mudah. Selain proses perceraian bagi ASN sungguhlah sebuah perjalanan yang panjang dan menguras tenaga serta emosi, perasaan takut bahwa anak akan trauma sering membayangi. Berikut ini hasil obrolan saya dengan Anjar, yang mungkin bisa jadi inspirasi buat para single mom di luar sana bahwa bercerai pada akhirnya bisa baik-baik saja, kok.
Kalau dihitung sampai sekarang, sih, sekitar 7 tahun. Saat itu yang saya lakukan pertama kali adalah mempersiapkan finansial dan menabung untuk masa depan anak. Tanpa bermaksud mengecilkan mantan suami tidak mau membiayai, ya, sampai sekarang masih ada kok. Namun yang saya pikirkan saat itu kesiapan finansial, karena saya tak ingin hanya mengandalkan mantan. Saat itu saya nggak tahu ke depannya nanti akan seperti apa. Jadi saya merasa harus mengandalkan diri sendiri di sektor keuangan ini.
Saat ini saya merasa jauh lebih leluasa mengatur segala hal untuk diri sendiri, anak, termasuk untuk orang tua saya,ya. Bagaimanapun saya tinggal dengan ibu dan ayah saya, jadi banyak juga hal-hal yang harus saya atur juga berkenaan dengan mereka. Kalau dulu, kan, semacam harus mendapat persetujuan dari dua belah pihak. Jadi kadang sebuah keputusan yang sederhana pun lama banget diskusinya :)
Sebenernya baik-baik saja banget, tuh, ya nggak juga. Hahaha...bagaimana pun ada hal yang bikin saya nggak baik-baik saja. Tapi 3 support system saya yaitu anak, orangtua saya, dan teman-teman inner circle saya yang loyal sama saya mendukung saya untuk selalu kuat.
Deanna semakin besar, buat saya dia jauh lebih mandiri, walau terkadang masih manja juga, sih. Gimana, dong, masih satu-satunya ini, hahaha… Dia sangat cukup memahami kondisi saya sebagai single mom, terutama setelah kami sempat sharing mengenai mengenai perpisahan kami di usia dia yang 11 tahun. Dia mulai paham, dan dia sangat mendukung kalau saya juga butuh bahagia.
Orangtua saya juga merupakan salah satu support system yang sangat saya andalkan. Dari sejak proses cerai sampai sekarang selalu ada di dekat saya. Termasuk membantu merawat, dan menjaga Deanna, kerjasama tim kami baik dalam urusan Deanna dan kenyamanan di rumah. Terutama ibu, ya. She's truly a good listener. Penguat saya banget bangetlah...
Nah kalau teman-teman tentu lebih banyak soal curhat, ya. Saya punya grup ibu-ibu online yang temenan dari jaman yahoo messenger sampai whatsapp group hahaha...kebayang, ya, itu sudah berapa lama. Jarang ketemu tapi online tiap hari. Saya juga curhat sama mereka, karena buat saya, sharing is healing. Nah, teman-teman inner circle saya ini mostly bersedia mendengarkan saja, beri pendapat bila diminta dan tanpa judging.
Kalau tugas dari sekolah, sih, menurut saya nggak terlalu menyulitkan. Sekolah Deanna cukup fleksibel. Yang menantang justru Deanna sendiri, karena anaknya happy banget nggak usah sekolah, dan ujungnya banyak tugas yang nggak dia kerjakan.
Sebagai ibu yang (mencoba untuk jadi) ibu yang baik, saya bujuk-bujuk, dong. Untuk tugas yang sifatnya menjawab pertanyaan dari buku dia masih mau. Tapi kalau sifatnya praktik, seperti melakukan gerakan olahraga atau bikin prakarya, dia selalu skip. Dibujuk-bujuk juga susah karena saya pun kurang bisa full bantu, secara pekerjaan kantor juga dibawa pulang. Kebetulan saya juga kuliah lagi, dipadu dengan tugas-tugas kuliah membuat saya keteteran. Pada akhirnya saya pun menyerah dan akhirnya bersekongkol dengan Deanna untuk skip tugas dia dengan berbagai alasan. Hahaha.. Mohon maaf bapak ibu guru, karena terus terang di saat seperti ini lebih penting jaga mood dia tetap happy daripada jadi negatif karena dipaksa mengerjakan. Duh, jangan ditiru…*tutupmuka*
Baca juga:
Sempat takut ada trauma pada Deanna. Hanya saja saat dulu menikah pun, karena dinas, saya LDR dengan mantan suami. Jadi percekcokan kami juga jarang dilihat Deanna. Ketika dia berusia 11 tahun dia memang sempat bertanya mengenai perpisahan kami. Saya hanya jelaskan intinya saja bahwa tidak semua orang bisa bahagia ketika mereka bersama. Bisa jadi saya, atau ayahnya justru lebih bahagia ketika kami berpisah. Ditutup dengan pernyataan Deanna,"Oh gitu, aku nggak apa-apa,kok, yang penting Mama bahagia." Ah, aku jadi meleleh dengarnya.
Anak adalah hal pertama yang paling saya syukuri karena menjadi sumber kekuatan saya untuk terus jalan ke depan tanpa harus menyesali hal yang sudah lalu. Saya juga selalu bersikap afirmatif. Saya yakin di setiap kejadian, baik maupun buruk, selalu ada hikmah yang bisa diambil. Tidak boleh menyesal karena jalan apapun yang kita pilih selalu ada risiko yang harus dihadapi, tetapi Allah pasti juga kasih solusi.
Bahwa saling percaya itu penting, tapi menjaga komunikasi dan terbuka dalam segala hal itu juga perlu. Tetaplah menjadi diri sendiri dan selalu merasa nyaman.
Baca juga: