Kenali beberapa tanda empati pada anak tidak berkembang dengan baik dan apa dampaknya.
Empati, sebuah kondisi yang membuat kita mampu menempatkan diri pada posisi orang lain dan berbagi secara langsung kesedihan yang dialami oleh orang lain.
Di tengah-tengah dunia yang semakin banyak dipenuhi oleh tindak kejahatan yang tidak masuk akal, tentu mengajarkan anak agar mereka bisa memiliki empati adalah salah satu yang ingin saya lakukan. Sambil berharap, agar ajaran yang saya berikan berhasil. Dan semua orang tua juga menuai keberhasilan yang sama, hahaha. Kebayang kan, akan seindah apa jika rasa empati semakin banyak dimiliki oleh manusia :D.
Maklum, beberapa bulan terakhir saya cukup kenyang (bahkan mau muntah) membaca banyak sekali kasus-kasus yang terjadi menunjukkan hilangnya empati pada manusia, tak peduli latar belakang sosial ekonomi atau pun pendidikannya.
Bullying yang semakin parah
Pembunuhan keji seorang anak kecil yang dilakukan oleh anak remaja
Penjual masker dan hand sanitizer yang memberikan harga sinting di tengah-tengah pandemic Covid-19
Para penimbun masker yang lupa bahwa ada tim medis yang jauuuuh lebih membutuhkan
Sedih. Enggan membayangkan bagaimana dengan situasi kondisi dunia di saat anak-anak saya dewasa. Jadi, mari yuk sebagai orang tua jangan abai dan lelah untuk mengajarkan sekaligus memberi contoh bagi anak-anak tentang pentingnya kehadiran empati di dalam hidup kita.
Seputar empati ini pun saya bertanya kepada mbak Vera Itabiliana selaku Psikolog Anak dan Remaja. Berikut hasil wawancara saya.
Dengan empati, kita dapat membatasi diri. Pada saat kita berbenturan dengan kepentingan orang lain yang bisa kita empatikan, kita akan berhenti. Contoh, saat bercanda kita lihat perubahan di muka teman maka kita akan stop karena kita bisa merasakan (berempati) bahwa dia tidak suka. Kita tentu ingin dipahami orang sekitar kita, nah bagaimana kita menuntut itu jika kita sendiri tidak mau memahami atau berempati dengan orang lain.
Bisa dari usia sedini mungkin. Anak belajar empati dari contoh dan bagaimana dia diperlakukan. When you treat a child empathetically, then he/she learns about empathy. Misal, saat anak menangis, ibu berujar sambil membelai..."Oh kamu kepanasan yaaa.." di sini ibu menunjukkan bahwa dia paham apa yang dirasakan anak ketika anak menunjukkannya via tangisan atau ekspresi muka.
Karena orang tua masih menomorduakan mental skill seperti empati salah satunya, dibanding dengan pencapaian lain seperti pencapaian akademis. Selanjutnya, yang membuat pendidikan empati itu sulit karena empati butuh proses, pengulangan dan contoh. Kadang kita lalai untuk meluangkan waktu karena kesibukan. Daaaan, tanpa kita sadar, sebagai orang tua kita cenderung menyerahkan pendidikan mental ke pihak sekolah.
Anak mementingkan kepentingannya sendiri, menyakiti tanpa penyesalan, menyakiti tanpa memahami orang lain atau binatang merasa sakit, menuntut keinginannya saja yang dipenuhi (anak sampai usia 5 tahun mungkin masih seperti ini tapi jika lewat dari usia lima tahun, anak diharapkan sudah bisa lebih berempati.
Ketika empati pada anak tidak berkembang, apa efeknya ke anak itu sendiri dan juga lingkungan?
Anak menjadi anak yang terganggu sosialisasinya karena mungkin tidak ada yang nyaman berteman dengannya, kalau ada pun mungkin karena takut. Lingkungan akan menjadi frustasi menghadapi anak seperti ini karena akan sulit diajak untuk saling menunjukkan afeksi satu sama lain.
Jadi, tolong diingat ya untuk kita semua sebagai orang tualah yang memiliki tanggung jawab utama untuk mendidik anak agar cerdas secara mental.
Baca juga:
Kesehatan Mental Penting Untuk Menjadi Orang tua yang Lebih Baik