Faktor apa saja yang membuat anak mudah terkena paham radikalisme dan bagaimana tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk melindungi anak?
Saya kerap rindu dengan masa-masa saya kecil hingga kuliah dulu. Rindu dengan urusan ibadah di Indonesia yang tak pernah sulit, mau apa pun agama kita. Rindu dengan acara buka puasa bersama seluruh kelas di rumah salah satu murid, dan semua siswa hadir, nggak peduli agamanya apa. Rindu dengan heningnya suara-suara asbun tentang urusan iman, surga dan neraka. Rindu terhadap apa yang namanya saling menghargai antar mereka yang berbeda.
Sekarang? Banyak gregetannya. Banyak sedihnya. Banyak khawatirnya.
Karena dalam beberapa tahun belakangan ini, semacam normal banget gitu lho kita melihat, membaca atau menyaksikan bagaimana pihak-pihak tertentu senang membuat kisruh kedamaian di Indonesia. Bagaimana paham dan gerakan radikalisme semakin merebak dan mengkhawatirkan.
Faktanya memang radikalisme bukan monopoli satu agama saja. Hampir semua agama memiliki problem yang sama. Ketika sebagian pemeluk agamanya menginginkan sebuah perubahan dengan menggunakan cara-cara ekstrem, seperti terror dan kekerasan.
Karena paham radikalisme ini mengajarkan nilai-nilai intoleransi, sulit menerima perbedaan hingga menganggap paham atau ajaran yang dianut oleh orang lain adalah salah, tak hanya di kalangan dewasa, namun juga sudah masuk ke dalam pemikiran anak hingga remaja. So sad!
Sebagai seorang ibu dari dua anak laki-laki, saya khawatir dengan lingkungan seperti apa yang kelak akan mereka jalani, jika radikalisme, intoleransi dibiarkan begitu saja. Apa yang bisa saya lakukan sebagai seorang ibu untuk membentengi anak-anak saya agar tidak terbawa arus pemikiran radikal?
Saya pun menyempatkan ‘ngobrol’ dengan mbak Vera Itabiliana Hadiwidjojo Psi untuk mencari jawaban dari sederet kekhawatiran yang hinggap di dalam kepala saya:
Ini ada hubungannya dengan perkembangan otak anak dan remaja yang belum sempurna, khususnya di bagian prefrontal cortex. Bagian yang baru terbentuk sempurna di usia 20 tahun ini berfungsi untuk membantu melakukan proses berpikir tingkat tinggi, seperti memilah mana yang baik dan buruk. Nah, sebelum bagian ini terbentuk sempurna, maka anak dan remaja lebih dipengaruhi emosi dalam mengambil keputusan.
Intinya, sebagai orang tua kita harus memelihara komunikasi yang baik dengan anak sehingga anak bisa mengutarakan apa pun yang ia dapatkan di luar rumah, termasuk tentang radikalisme tersebut! Jadi ada on going discussion tentang hal-hal dari luar rumah yang berbeda dengan nilai yang dikembangkan di dalam rumah.
Biasakan juga anak untuk bersikap kritis terhadap informasi atau masukan apa pun yang dia dengar atau lihat. Ajarkan mereka untuk selalu diskusikan segala sesuai dengan kita, orang tuanya. Menghadapi anak yang kritis, intinya kita harus sabar.
Hal ini bisa dimulai dengan tidak membiasakan anak untuk selalu menurut di rumah. Ciptakan iklim demokrasi di mana anak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat atau perasaannya terhadap sesuatu.
Baca juga:
Tips Psikolog Agar Anak Mau Terbuka dengan Orang tua
Lakukan 5 Cara Ini Agar Anak Terbiasa Berpikir Kritis
Nilai radikal biasanya berkaitan dengan kekerasan. Anak yang biasa terpapar dengan nilai kekerasan dan menunjukkan perilaku agresif, mungkin saja berpotensi radikal.
Orang tua juga perlu bersikap hati-hati ketika berada di sekitar anak. Ingat, bahwa anak itu bisa menelan mentah-mentah segala issue yang ia dengar. Misal, issue yang menjadi topik demonstrasi. Jika orang tua mendorong atau mendukung issue-issue tersebut serta membawa issue ini ke dalam kehidupan sehari-hari, maka anak bisa sangat terpengaruh.
Biasakan bahwa berbeda itu biasa. Dan ajak anak selalu melihat bahwa ada kepentingan orang lain yang kadang bersinggungan dan harus dicari jalan tengahnya.
Ajak anak diskusi tentang “pemahaman” barunya. Ajak anak menemui orang-orang yang punya pandangan berbeda tapi bisa berdiskusi dengan anak, dan waspada dengan lingkungan sekitar anak. Pastikan kita tahu anak terlibat aktivitas apa saja di luar rumah dan siapa saja orang yang berinteraksi dengan anak. Jangan lupa pantau social media anak, apa saja yang dikonsumsi anak di sana karena paham radikalisme juga bisa masuk melalui social media.
Ketika perilaku anak berubah drastis, anak tampil seperti bukan dirinya. Ada pikiran atau tindakan yang berbau kekerasan.
Maka, pesan terakhir dari mbak Vera adalah, diskusi tentang hal-hal ini perlu, apalagi jika anak sudah mendengar atau bertanya mengenai hal tersebut. Beritahukan anak sesuai dengan kapasitas usianya. Apalagi jika anak sudah beranjak remaja, diskusi ini sangat perlu mengingat remaja kerap menjadi sasaran masuknya paham radikalisme.