banner-detik
NEWS

Intoleransi, Kasus Baru atau Sudah Sejak Dulu?

author

annisast18 Feb 2020

Intoleransi, Kasus Baru atau Sudah Sejak Dulu?

Foto pengurus BEM Fakultas Teknik dan MIPA Universitas Negeri Jakarta diburamkan dan dibuat karikatur. Intoleransi yang baru terjadi atau sudah sejak dulu?

Saya ingat, 6 tahun lalu saat baru menikah dan mencari rumah kontrakan, saya dan suami suka sekali pada satu rumah. Bangunannya baru dan lokasinya strategis. Kami pun mendatangi rumah bu haji pemilik kontrakan itu.

[caption id="" align="alignnone" width="1185"] Ilustrasi[/caption]

Rumahnya mewah, besar sekali. Mereka hidup berkecukupan dari hasil memgontrakkan rumah yang entah ada berapa. Si ibu sampai punya satu buku besar catatan daftar rumah kontrakan yang ia miliki beserta nama pengontraknya.

“Kalian Muslim kan? Saya sih nggak mau kalau kontrak rumah bukan Muslim.”

“Saya sih nggak mau ya kalau Muslim tapi orang Sumatra.”

“Orangtua sudah haji?”

Kaget luar biasa tapi karena kami kebetulan mayoritas secara agama dan suku, orangtua saya juga kebetulan haji, dan kami sangat ingin rumah itu ya sudahlah kami lanjut mengontrak di sana selama 4 tahun. Bu haji orang baik, baik sekali, hanya saja beliau kurang toleran pada orang yang berbeda agama dan suku.

Jadi kalau mendengar kasus intoleransi dan orang terkejut karena “kok jadi gini ya, Indonesia?” Lho bukannya sejak dulu?

Saya sih tidak merasakan ya karena so far sih dari obrolan sesama teman, yang merasakan intoleransi itu biasanya di fakultas teknik/MIPA. Saya yang dari Fakultas Ilmu Komunikasi bahkan tidak ingat siapa ketua BEM dahulu hahahaha. Terlalu sibuk kuliah dan main, tidak sempat berorganisasi. :))))

Oiya btw saya kuliah di Unpad. Saya bertanya di Instagram, apa ada yang pernah mengalami intoleransi di kampus? Jawabannya banyak.

Satu teman online saya di universitas negeri di Jawa Tengah, fakultas MIPA mengaku sempat aktif di BEM fakultas tahun 2008. Semua pengurus harus laki-laki, perempuan hanya bertugas mengurus surat-surat dan seksi konsumsi. Dan saat itu, foto pengurus sudah diganti dengan karikatur. Jadi bukan ide baru mengganti wajah perempuan dengan kartun itu.

Parahnya, saat rapat, ada sekat untuk memisahkan laki-laki dan perempuan. Kalau perempuan mau mengungkapkan pendapat, mereka harus menulis di kertas dan dibacakan teman laki-laki. Sebabnya, suara perempuan juga dianggap aurat. Wow.

Kabar serupa juga datang dari Bogor. Teman saya ini Kristen dan tinggal di asrama, tapi teman perempuannya kalau bertemu dia harus memakai jilbab dulu. Saking dia dianggap kafir dan tidak dianggap sebagai sesama perempuan.

Dari banyak DM yang saya terima, kebanyakan intoleransi yang terjadi adalah tentang perempuan tidak boleh jadi ketua atau punya job desc yang lebih dari laki-laki di kepengurusan. Juga isu non Muslim sulit masuk dalam open recruitment anggota HIMA apalagi jadi ketua.

Jadi menurut saya isu ini sama sekali bukan hal baru dan harus jadi momen untuk kita membuka mata. Sudah mengajarkan tentang toleransi pada anak?

Baca:

5 Cara Mengajarkan Toleransi pada Anak

Wisata Rumah Ibadah, Cara Asik Menanamkan Nilai-nilai Toleransi Beragama Kepada Anak

Apakah Kelak Anak Saya Tidak Lagi Mengenal Kata Toleransi?

Share Article

author

annisast

Ibu satu anak, Xylo (6 tahun) yang hobi menulis sejak SD. Working full time to keep her sanity.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan