Surat untuk Anak Remajaku, Dari Ibu yang Mencemaskanmu Selalu

Parenting & Kids

Mommies Daily・21 Jan 2020

detail-thumb

Ditulis oleh: Ficky Yusrini

Mungkin ini kutukan yang hanya bisa dirasakan oleh seorang ibu. Tidak bisa tidak memikirkan dan mencemaskanmu, Nak. Setiap saat. Jauh maupun dekat.

anak preteen remaja

Beruntung, sekarang kita hidup di zaman teknologi. Ibu bisa memberimu gadget. Dengan itu, ibu bisa mengecekmu setiap saat. Handphone-mu hanya off ketika jam sekolah. Begitu kelas selesai, handphonemu aktif kembali. Aku pun akan mengirim chat ke kamu. “Udah ke luar?”, “Tumben lama?”, “Langsung pulang, ya!!!”

Lalu, seperti biasa, kau pun menjawab irit dengan satu huruf saja. “E.”(yang tidak ada artinya, sekadar menunjukkan bahwa pesan diterima. “K.” (yang artinya ‘oke’). Atau, agak panjangan dikit, “Waitap.”(dibaca: Bentar Buuuu. Mau mabar dulu, nih!) Begitulah kode-kode konversasi kita sehari-hari.

(Baca juga: Ini Daftar Sumber Pertengkaran Antara Orangtua dan Remaja)

Kalau aku sedang ada acara di luar dan terpaksa meninggalkanmu di rumah, aku akan selalu meninggalkan pesan, “Handphone harus aktif terus ya. Angkat kalau ibu menelepon!”

Suatu kali, kamu pergi ke sekolah, ketinggalan handphone di rumah. Duh, aku langsung kelabakan. Ini anak gimana, ya. Udah sampai belum ke sekolah. Nanti pulangnya gimana. Enggak bisa pesan ojek, dong. Tapi, yang jauh lebih penting lagi, aku tidak bisa memantau keberadaanmu. Pulang jam berapa, ada di mana, udah sampai mana. Penting!

Ingat tidak, beberapa waktu lalu, aku ke luar kota sendirian sampai 2 minggu untuk suatu urusan. Sebetulnya saat jauh dari kamu, aku yang keblingsatan. Di dalam hati, aku berusaha menenangkan diri. Aku yakin kamu baik-baik saja di rumah. Bisa mandiri. Bisa jaga diri. Tapi, tetap saja, rasanya aku perlu mengecekmu berkali-kali.

Pagi bangun tidur, sore pulang sekolah, dan malam sebelum kamu tidur, kita ngobrol lama dengan video call macam pacaran jarak jauh. Walaupun di rumah, segala pekerjaan sudah aku delegasikan pada ayahmu, begitu ada kesempatan di telepon, aku akan memberi instruksi apa saja yang harus dibeli. Menu sarapan apa pagi itu, sampai untuk malam hari. Apa saja yang harus kamu baca. Belajar apa saja. Seluruh aktivitasmu tetap aku kontrol dari jauh.

Saat aku di luar kota, jam-jam kamu pulang sekolah, praktis aku tidak bisa ngapa-ngapain di sana, karena pikiranku ada di telepon mengawasimu dari sana. Kalau dipikir-pikir, ngapain ya, aku ribet sendiri.

(Baca: Penyebab Insecure di Kalangan Anak Remaja)

Kamu punya handphone sendiri juga baru-baru saja, karena kamu sudah masuk SMP. Sebelumnya, jika ingin menggunakan gadget, kamu harus meminjam handphoneku atau milik ayahmu. Itupun aku batasi banget waktunya. Aku tidak bisa bayangin kalau zaman kamu kecil sudah ada smart watch, yang bikin aku meneleponmu kapan saja via jam tanganmu. Aku bisa memonitormu, dan kalau saja ada CCTV di jam tangan itu, yang bisa memperlihatkan apa saja yang sedang kau lakukan, mungkin aku akan senang sekali.

Pastinya, aku bisa jadi lebih tenang.

Tapi, aku tidak yakin. Kenyataannya kok, setelah kamu pegang gadget sendiri, hidupku malah jadi jauh lebih tidak tenang, ya. Terutama, saat-saat ketinggalan handphone seperti ini. Hehehe….Lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan handphone.

Seperti saat hujan deras beberapa waktu lalu. Sinyalmu menghilang. Pulang sekolah, tidak ada kabar darimu dan aku tidak bisa meneleponmu. Itu adalah menit-menit paling menakutkan yang pernah kulalui. Sampai 30 menit kemudian, sinyal handphonemu nyala dan kamu menghubungiku, untuk mengabarkan bahwa di luar hujan petir. Kamu terjebak di dalam kelas dan tidak ada driver ojek online yang bersedia mengantar. Aku sudah bahagia, kok, dengar suaramu.

Di saat-saat sedang mencemaskanmu, kadangkala, ingatanku terbang kembali ke masa-masa aku kecil dulu. Belum ada handphone, gadget, dan belum kenal internetan seperti sekarang. Telepon rumah yang berbunyi kring pun orangtuaku tak punya. Aku lalu membayangkan, apa yang mereka lakukan ketika sedang mencemaskan anak. Apakah seperti kegalauanku sekarang?

Padahal, aku dan adikku bersekolah di sekolah yang jaraknya lebih dari 5 kilometer dari rumah. Kadang kami bersepeda, kadang menggunakan angkot. Hidup tanpa pembantu, sementara kakek dan nenekmu pergi bekerja, dan baru tiba di rumah sore hari. Lalu aku bangga, dan terheran-heran sendiri, kok, kecilku bisa mandiri banget, ya. Dan aku bisa melewati masa-masa itu, baik-baik saja.

Apa teknologi hanya menambahku worry? Atau aku saja yang terlalu parno karena tak bisa selalu menjagamu di dunia ini?