Ya, ya, sudah menjadi rahasia umum kalau masa remaja termasuk masa yang penuh tantangan dalam kehidupan.
Tantangan ini bukan cuma buat si remaja itu sendiri, tapi juga buat orangtuanya. Harus bagaimana, sih, menghadapi tantrum remaja yang seringkali juga disebabkan oleh perubahan hormon ini? Orangtua harus ngomong apa agar si remaja nggak tiba-tiba ngambek?
Harus melakukan apa supaya remaja mau mendengarkan apa yang kita bicarakan? Sebelum mencari tahu apa yang harus dilakukan, mungkin bisa kita kenali dulu beberapa sumber teratas ‘perkelahian’ antara orangtua dan remaja.
Kita pernah juga, kan, ya, menganggap peraturan yang diberlakukan untuk kita di masa-masa mencari identitas diri (rolling eyes) terasa terlalu menekan gerak langkah kita. Ya, itu juga yang sedang dirasakan anak-anak kita yang jelang atau sudah remaja.
Semakin keras kita menekankan aturan, maka akan semakin benci mereka terhadap aturan tersebut. Walaupun ini tetaplah sebuah proses yang harus dijalani, seringkali ini menjadi sumber ‘debat’ antara orangtua dan remaja.
(Baca: Hati-hati! Begini Cara Memilih Games yang Aman untuk Anak)
Kompetitor orangtua yang paling berbahaya menurut saya, ya, gadget ini. Era digital nyaris membuat smartphone atau gadget berubah menjadi kebutuhan primer. Sebenarnya tak hanya buat remaja, tapi nyaris buat semua orang. Seringkali jadi sumber pertengkaran antara orangtua dan anak akibat kalau diajak ngomong yang ditatap bukan ayah ibunya, tapi layar gadget.
Remaja biasanya lagi senang mengeksplorasi banyak hal, mulai dari hal yang ada sekelilingnya, termasuk mengeksplorasi emosinya sendiri. Sehingga kewajiban di sekolah bisa jadi pindah urutan di daftar prioritasnya. Yang seperti ini memang bikin orangtua kemudian gemas, dan memaksa mereka untuk memberi perhatian lebih kepada pelajaran. Sementara si anak remaja (yang sudah ‘merasa gede’ ini) sedikit banyak nggak terima. Dan terjadilah pertengkaran dengan orangtua. Semakin dipaksa, semakin sering pula pertengkaran itu terjadi.
(Baca: Jangan Hanya Main, Yuk Ajak Anak Bikin Game Sendiri)
Kalau dulu ngintilin terus ke mana kita pergi, sekarang sudah mulai berani menolak kalau diajak ke acara keluarga besar. Jangankan arisan keluar, diajak makan malam bersama di ruang makan aja, lebih memilih untuk berkata, “Nanti aja, aku belum lapar,” sambil meneruskan menatap layar desktop. Bagaimana nggak bikin orangtua meradang?
Buat kita cinta monyet, buat mereka first love menjadi segalanya. Saat orangtua membatasi gerak langkahnya ketika ia memulai kisah romantisnya, ia akan merasa perasaannya tidak dimengerti, dan tentunya membuat dia menjadi seorang yang rebellious di mata orangtuanya. Fase ini jika tidak dihadapi dengan tepat oleh kedua belah pihak bisa jadi sumber pertengkaran yang nggak habis-habis.
Semua hal yang berbahaya itu “asyik dan seru”. Dan biasanya akan makin asyik ketika dicoba di usia-usia labil begini. Alasannya hanya karena ini mencoba, atau supaya terlihat keren. Nah, ketiga hal ini akan jadi sumber pertengkaran hebat, terutama ketika orangtua mengkonfrontasi langsung ‘kesalahan’ ini dan menyebabkan si remaja seringkali berusaha berbohong, atau menyangkal lalu berujung pada pertengkaran.
Masih banyak hal-hal yang menyebabkan pertengkaran antara remaja dan orangtua. Anda mau menambahkan? Hal-hal di atas sebenarnya wajar terjadi pada fase pertumbuhan seorang remaja, tapi kita sebagai orangtua juga tak mungkin membiarkan apa yang salah berkelanjutan, kan?
(Baca: Edukasi Seks untuk Remaja: Latihan Mengurus Bayi)
Yang paling penting sebenarnya adalah bagaimana cara kita, orangtua, dalam bereaksi ketika kita berhadapan dengan sumber-sumber pertengkaran ini. Yang bisa kita yakini, semakin keras sikap kita, semakin tinggi nada kita bicara, semakin menekan kita terhadap mereka, bukan tak mungkin pertengkaran antara orangtua dan remaja lebih banyak menghiasi rumah.
Jika pertengkaran menghebat, Anda mungkin butuh bantuan ahli atau psikolog agar komunikasi dengan mereka paling tidak ada sedikit titik terang. Percayalah, Anda nggak sendiri, kok, dalam menghadapi ini ;)