Kenali tanda-tanda anak terjebak dalam toxic relationship dan bagaimana cara kita menyikapinya. Tak hanya dengan pasangan namun bisa jadi ada teman si anak yang menjadi toxic.
Bicara tentang toxic relationship, saya jadi ingat ke masa saya SMA saat saya pacaran dengan kakak kelas. Si kakak kelas ini yang berinisial R sangat peduli dengan kegiatan apa pun yang saya lakukan, dengan pakaian yang saya kenakan hingga dengan aktivitas saya bersama teman-teman.
DULU …. Saya berpikir bahwa ketika dia melarang saya bepergian dengan teman, ketika dia melarang saya ikut ekskul cheerleader, ketika dia bahkan melarang saya pergi dengan SAUDARA saya, itu karena dia perhatian dan takut kehilangan saya.
Ternyata sekarang saya baru paham, bahwa itu cara dia membuat saya bergantung dan susah lepas dari dia. Kenapa saya bisa bilang begini? Karena ketika dia melanjutkan pendidikan di Akademi Militer, saya sempat sangat khawatir jika jauh dari dia, saya jadi nggak percaya diri kalau kemana-mana sendirian, saya jadi semacam butuh punya pasangan untuk merasa nyaman. Dan butuh bertahun-tahun untuk bisa mengembalikan rasa percaya diri saya.
Kemudian saya sadar, bahwa toxic relationship itu tak selalu berkaitan dengan tindak kekerasan verbal atau pun non verbal. Sesuatu yang disampaikan dengan cara manis dan santun pun bisa masuk ke dalam kategori toxic relationship ketika itu mengubah kepribadian kita menjadi lebih buruk.
Dan sejujurnya saya nggak ingin jika kelak anak-anak saya menjadi pelaku atau korban dari toxic relationship. Makanya saya ngobrol sama mbak Vera Itabiliana Psi berkaitan dengan topik ini, agar begitu saatnya anak-anak saya memasuki usia berpacaran, saya sudah siap dan juga bisa menyiapkan mereka terlebih dulu tentang pacaran sehat.
Baca juga:
Perubahan Emosional Anak Puber yang Perlu Orang tua Tahu
Terjadi perubahan perilaku; mudah membangkang, jarang bicara atau cerita-cerita lagi ke keluarga atau teman, jarang mau berkumpul atau melakukan aktivitas bersama keluarga atau teman.
Terjadi perubahan emosi: menjadi mudah marah atau sebaliknya jadi gampang murung atau sedih.
Terjadi perubahan penampilan: Berdandan berlebihan, mengganti model pakaian secara drastis yang tidak mencerminkan kepribadian anak sebenarnya (Naaaah, ini pas saya SMA juga sempat begini karena mantan saya selalu komplen ketika saya mengenakan pakaian yang tidak dia sukai).
Jalin komunikasi yang konsisten dan hangat sejak awal, sehingga anak mudah untuk bercerita tentang apa pun yang dia alami di dalam hubungannya dengan pacar atau teman-temannya (FYI, toxic relationship itu nggak sekadar berkaitan dengan pasangan namun juga bisa saja ada teman yang toxic). Plus, dekatkan diri dengan pasangan anak kita.
Sebenarnya alangkah lebih baik ketika kita sudah menjelaskan ke anak mengenai hubungan yang sehat seperti apa, sehingga anak sudah langsung sadar ketika hubungan yang dia miliki ini tidak sehat. Jangan abai terhadap perubahan sekecil apa pun yang kita lihat dari anak serta jangan takut menyampaikan kekhawatiran kita. Sampaikan kekhawatiran kita dengan cara yang baik agar anak paham, semua ini kita lakukan karena kita peduli dengannya, bukan karena kita tidak suka dengan pasangan dari anak kita.
Jangan langsung mengambil langkah sepihak, namun diskusikan dengan anak tentang langkah apa saja yang bisa dilakukan bersama untuk membuat anak bisa keluar dari hubungan yang tidak sehat ini. Dampingi anak di setiap langkahnya. Mendampingi dalam artian bagaimana nih? Selalu cek sudah sejauh mana perkembangannya, progress-nya pada anak dan tawarkan bantuan apa yang ia butuhkan. Jika sudah mengancam keselamatan anak, maka orang tua berhak dan wajib sih untuk turun tangan langsung.
Awalnya dorong anak untuk mencoba menyelesaikan sendiri dan kita sebagai orang tua cukup di berada di belakang layar. Jika anak meminta bantuan, baru orang tua bicara langsung dengan pasangan yang toxic tersebut.
Nah, jadi penting banget untuk kita sebagai orang tua memulai obrolan-obrolan seperti ini sebelum anak mengalaminya. Jangan merasa malu atau tabu bicara tentang anak suka dengan lawan jenis, tentang pacaran, tentang pacaran yang sehat, tentang value yang dimiliki oleh keluarga kita, tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan dia hadapi saat pacaran, seperti patah hati, toxic relationship dan sebagainya.
Baca juga:
Ketika Anak Patah Hati, Mama Juga Patah Hati
Percaya deh, kadang topik yang menurut kita tabu, ternyata malah anak butuh penjelasan tentang semua itu dari kita orang tuanya :).
Baca juga: