Salahkah kalau dalam kenyataannya, idealisme yang kita tanam pada diri sendiri terpaksa harus luntur?
‘When a child is born, a mother is also born.”
Dulu, saya sering banget dapat komentar, “Kamu pasti kalau jadi ibu bakal sabar banget, deh, soalnya kamu kan senang sama anak-anak.” Pada kenyataannya, ternyata saya malah lebih galak saat menghadapi anak sendiri. Itu ternyata karena saat kita menjadi seorang ibu, secara tidak sadar kita menanamkan sebuah idealisme terhadap cara kita mengasuh anak.
Dulu.. (sebelum anak lahir), gegara sering lihat kejadian di sekitar, saya pernah berucap pada diri sendiri: Jangan sampai saya jadi ibu yang ngasih makan anaknya sambil ngejar-ngejar, pokoknya anak saya harus bisa duduk manis kalau lagi makan.
Setahun pertama, sih, berhasil!
Karena saat itu, anak masih memperlihatkan antusiasmenya ketika makan dan masih betah duduk di high chair. Eh, begitu ulang tahun pertama lewat, mulai deh dari GTM, nggak betah duduk lama-lama, teriak sampai nangis-nangis minta turun dari kursi.
Saat terjadi, dalam hati rasanya ingin berontak, karena saya nggak mau kalau “idealisme” bahwa anak tetap harus makan sambil duduk ini luntur begitu saja. Namun, di sisi lain, kalau saya nggak melepaskan dia dari kursinya, dia akan semakin berontak, nangisnya makin kejer! Saya yang bakal lebih stres ngadepin dia!
Padahal, wajar banget, kan, kalau anak merasa bosan dengan rutinitas makan di kursi. Belum lagi saat tumbuh gigi, atau ketika lagi flu, kita saja orang dewasa pasti nggak nyaman kalau dipaksa makan, gimana dengan anak bayi yang belum bisa mengutarakan perasaannya?
Saya lalu berpikir, daripada berantem melulu sama si kecil (lama-lama kan begah juga, ya!), belum lagi suara tangisannya yang bakalan makin heboh dan makin kedengeran sama tetangga), maka saya putuskan untuk melunturkan idealisme ini. Realistis sajalah, biar tetap waras juga, sayanya.
Akhirnya, saya harus menelan omongan sendiri dan merelakan anak makan sambil nonton TV, sambil lari sana sini. Bebas, deh. Meski rasanya gemas lihat nasi tumpah-tumpah, yang penting makan lancar, nggak pakai drama. Ajaibnya, nih, tiba-tiba besoknya anak saya sendiri yang minta duduk di kursi saat mau makan. Saya pun sadar, meski Idealisme saya sempat luntur, bukan berarti ajaran untuk makan sambi duduk di kursi benar-benar luntur dari benak anak.
Idealisme selanjutnya: Saya bisa urus anak sendiri, nggak perlu pakai nanny/mbak.
Again, setahun pertama, idealisme ini masih kuat menempel, saya masih terus kekeuh dan yakin saya bisa. “Tergantung cara kita mengatur waktu aja, kok, nggak, lah, nggak perlu mbak”, ucap saya pada diri sendiri. Sampai akhirnya, saya mulai stres, apalagi kalau menghadapi hari Senin.
Layaknya pekerja kantoran, hari Senin itu juga cukup menegangkan, lho, buat work-at-home-mom, karena orang-orang terdekat, termasuk suami, harus kembali bekerja. Artinya, saya kembali harus menghadapi si kecil sendirian dan curi-curi waktu buat buka laptop HANYA saat ia tidur.
Yang ada, selama ia tidur, saya kerjanya jadi terburu-buru, sambil mengucap dalam hati, “Please, Nak, jangan bangun dulu sebelum Mama kelar!”, begitu dia gerak sedikit, resah, konsentrasi pun buyar. Akhirnya, pekerjaan saya baru benar-benar bisa diselesaikan tengah malam saat anak benar-benar terlelap. Akibatnya? Besok paginya, saya jadi zombie!
Baca juga: Ibu Bukan Superhero, Tapi Manusia!
Saya lalu mikir, buat apa jadi idealis mau pegang anak sendiri, tapi ujungnya merugikan diri sendiri? Toh, nggak ada salahnya juga mengandalkan support system. Meski mencari mbak pun nggak semudah itu, namun ketika akhirnya saya dapat bantuan, rasanya lega luar biasa. Ngaruhnya apa? Less stressful, apalagi saat menghadapi anak di siang hari. Karena sadar nggak sadar, keadaan kita saat sedang banyak pikiran sangat bisa menentukan mood kita ketika menghadapi anak.
Saya pun kini bisa menyimpulkan bahwa menjadi ibu yang realistis itu jauh lebih menyenangkan daripada kekeuh menjadi sang idealis. Karena saat mengasuh anak, kita berhadapan dengan berbagai situasi yang tidak selamanya bisa berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Idealisme nggak selamanya ideal, apalagi kalau hanya membuat kita tertekan.