Menghadapi anak marah atau tantrum memang menguras emosi. Bagaimana agar tak ikut tantrum saat anak tantrum?
Yang sering terjadi dan sering sekali saya lihat adalah orangtua yang ikut tantrum saat anak tantrum. Anak berteriak, orangtuanya berteriak lebih keras lagi.
Anak ngamuk menendang-nendang, orang tuanya menangkap anak dengan tenaga yang sama besarnya. Kalau begini, siapa sebetulnya yang tantrum ya? Siapa yang balita siapa yang orang dewasa? *lap keringet*
Tidak mudah dan butuh latihan memang, tapi coba ingat-ingat hal ini saat menghadapi anak yang sedang marah.
Sebelum ikut berteriak, tarik napas, hitung dari 1-20 sambil mengatur emosi. Memberi jeda saat kita akan marah meledak bisa menunda sekali lho. Apalagi untuk ibu-ibu yang suka menyesal membentak anak, yuk coba beri waktu untuk diri sendiri dulu sebelum membentak anak.
Sering saya lihat orangtua yang tak sanggup mendengar anak menangis sehingga tujuan utamanya adalah anak berhenti nangis secepat mungkin. Padahal tangisan anak (kecuali karena sakit ya) bukan hal yang darurat lho! Tidak perlu menghentikan anak menangis dengan segera. Kenapa?
Yes anak boleh tantrum atau marah karena itu adalah salah satu cara untuk mengungkapkan emosi. Marah itu sehat lho karena tandanya ia tahu harus bereaksi apa pada suatu hal. Yang harus kita lakukan selanjutnya adalah validasi emosinya.
Daripada ngomel dan merepet, lebih baik katakan pada anak kalau mama juga tau kok kamu kecewa dan sedih. Katakan dengan empati seperti “wah iya, tidak bisa makan es krim itu rasanya memang sedih sekali ya” tapi ya sudah sampai di situ saja. Jangan jadi dibelikan juga kalau memang perjanjiannya tidak dibelikan.
Memberi penjelasan pada anak yang tantrum itu sia-sia. Ia juga tak fokus dan tidak akan bisa menerima kita 100%. Sudahlah ketika anak marah dan tantrum, validasi emosinya, tawarkan pelukan, dan biarkan ia mengelola emosinya sendiri.