Tentang menjadi pribadi yang peka dengan kesulitan orang lain. Mengasah empati dimanapun kita berada. Dampaknya langsung ke kita juga, kok, mengisi energi positif.
Image: Sandrachile on Unsplash
Saya ingin mengawali artikel ini, dari dua cerita yang berbeda, tapi terjadi di satu lokasi.
Cerita 1
Suatu hari saya sedang belanja bulanan. Ketika lagi asik memilih bawang-bawangan, saya melihat pengendara ojek online (ojol), kebingungan di depan lemari es bagian susu UHT. Ada petugas coba bantu, tapi sayang hasilnya nihil, si bapak belum berhasil menemukan apa yang dipesan pelanggannya.
Saya coba dekati, dan tanya, “cari apa pak?.” Wajah si bapak sudah clue less banget garuk-garuk kepala sambil bolak-balik lihat HP. Ternyata susu UHT pelanggan si bapak stoknya sedang kosong. Dan diganti dengan jenis yang lain. Sayangnya pelanggannya tidak memberikan foto agar mempermudah kerja si bapak juga, cuma bilang “susu UHT putih merek A.” *GEMAS!
Singkat cerita lagi, saya antar si bapak ke rak bagian UHT. Lagi-lagi wajahnya kebingungan, karena satu merek saja, misalnya untuk yang UHT putih, ada beberapa varian, kan? Akhirnya saya rangkum, ke si bapak.
“Bilang sama si mbak, merek yang dia mau ada dua jenis UHT putih: low fat dan full cream. Kalau dia pilih low fat, bapak ambil yang ini. Kalau pilih full cream, bapak ambil yang ini.”
Baca juga: 4 Cara Mengajarkan Anak Untuk Bisa Berempati
Sebagai pelanggan ojek online:
-Kasih foto barang yang dipesan dan alternatifnya, berikut dengan fotonya. Memang agak usaha, sih menyimpan nomor si driver, dan melanjutkan pembicaraan lewat app What’s app.
-Jangan egois, mentang-mentang jadi customer. Kitanya juga harus mengerti. Latar belakang para ojol itu heterogen – usia dan pendidikan. Lebih baik memudahkan dari awal, dari pada keduanya jadi susah. Berujung kita pongah, kasih bintang satu. Mereka bisa kena suspend, lho. Dan nggak bisa mencari nafkah untuk keluarga.
Sebagai seseorang yang melihat kesulitan orang lain:
-Mungkin awalnya langkah kaki terasa berat. Tapi coba beranikan satu langkah saja menuju orang yang butuh bantuan kita, dan menyapanya. Selanjutnya akan mengalir begitu saja.
Cerita 2
Cerita kedua datang dari seorang ibu yang berbelanja didampingi anaknya yang berkebutuhan khusus. Secara kasat mata kelihatan, si anak ini “istimewa.” Sering kali tiba-tiba meronta, tanpa alasan yang jelas, mengulang gerakan tangan yang sama, kira-kira usia 5 tahun tapi masih digendong, dan tidak bisa folus di depan benda tertentu, berulang kali histeris. Saya bisa cerita sedetail ini, karena si ibu berada persis di samping kanan saya, saat saya memilih cabai.
Di rak yang sama dengan saya, si anak terlihat dan terdengar membantu ibunya memasukkan belanjaan ibunya ke plastik si ibu dengan sabar mempersilakan. Tapi perilaku anak sulit dikendalikan, berpotensi mengacak-acak semua barang. Ibu tadi mengalihakn perhatian, mengambil plastik untuk belanja kebutuhan berikutnya.
Dalam keadaan sambil menggendong anaknya yang kira-kira belasan kilo itu, si ibu sudah pasti kesulitan. Saya mendekat, dan menawarkan bantuan, untuk menyobek plastik. Dia senyum, diiringi ucapan terima kasih. Saya sempat melihat wajahnya, setenang itu mommies! Dua-duanya memang istimewa, ya J
Tidak lama, datang nenek si kecil. Dia langsung mengambil alih menjaga si kecil. Dan si ibu bergerak dengan cekatan belanja kebutuhan lainnya.
-Kalau mendapati situasi seperti saya, (IMHO) jangan membuat gerakan kaget, lalu terus melihat ke arah si ibu. Pasti, sih, ada perasaan penasaran – TAHAN! Mereka tidak butuh menjadi tontonan, mereka butuh bantuan. Dekati orangtuanya perlahan, senyum dulu dari jauh. Pas sudah hadap-hadapan, tanya “ada yang bisa saya bantu?.”
-Jika ada bala bantuan dari anggota keluarga lainnya. Biarkan mereka menghadapi konflik internalnya sendiri. Kecuali darurat, ada nyawa yang terancam. Bisa langsung bantu, atau minta bantuan sekeliling kita.
Baca juga: Orang tua Juga Perlu Belajar Tentang Empati