Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Boleh saja, meyakini pilihan kita adalah yang terbaik dan udah paling benar. Tapi, kenapa harus nyinyir dengan hidup orang yang berbeda dengan pilihan kita?
Ini bukan topik tentang pilpres, siapa pilih siapa. Ya, sudahlah, move on. Kembali ke bahasan ‘remeh temeh’ dunia perempuan saja, yang enggak ada habisnya, yang sebetulnya sangat tidak remeh. Sebab, kalau diamati, perdebatan di kalangan perempuan antara satu pilihan a dengan b, bisa saling serang dan nyinyir tak kunjung berkesudahan. Masing-masing merasa ‘Lebih perempuan dari perempuan’. Tanpa bermaksud ‘mengadu domba’ kedua kelompok, berikut adalah beberapa perdebatan, di antaranya.
Baca juga: Inginnya Menjadi Perempuan Seperti Ini!
Seorang teman pernah curhat, mengeluhkan postingan-nya sering dinyinyirin. Kalau ia posting bisa sering eksis dari satu reuni ke reuni lain, bisa sering-sering nobar, traveling sana-sini, yoga ke studio semingu empat kali, tugas sering dikirim ke luar negeri, makan malam romantis dengan suami, dan sebagainya. “Pantes aja, bisa kemana-mana, belum punya anak!” “Kenapa, sih, enggak mau punya anak?” “Sudah coba ke dokter anu belum?” “Memangnya kamu tau apa soal dunia emak-emak?” Seolah kategori perempuan di dunia ini terbelah jadi dua saja: perempuan emak-emak dan perempuan bukan emak-emak.
ASI eksklusif itu ideal, praktis, dan murah. Badan kesehatan dunia WHO merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, mengingat besarnya manfaat kesehatan bagi bayi. Akan tetapi, faktanya tidak semua ibu melakukannya. Kampanye tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif sudah mulai gencar sejak 10 tahun terakhir. Saking gencarnya, sampai-sampai tak sedikit ibu-ibu yang tak memberi ASI eksklusif, menjadi sasaran bully. Seorang teman saya yang tak mampu memberi ASI pada bayinya, pernah curhat, ia merasa terintimidasi, setiap kali membicarakan tentang itu. “Di Dedek masih ASI, kan?” “Enggak. Aku udah pakai sufor aja.” “Oh. Sayang banget!” Dalam kasus teman saya, ia tidak sampai mendapat bully-an dari netijen. Tetapi, jawaban-jawaban seperti “Oh. Sayang banget!” itu saja sudah membuatnya menderita dan lantas menyalahkan dirinya sendiri.
Di negara maju seperti Amerika sekalipun, isu ASI eksklusif ini masih gencar digaungkan karena banyak ibu yang belum melakukannya. Menurut Time di artikel yang berjudul “Why Do We Have the Breastfeeding Wars?” Menyusui tidaklah semudah kelihatannya. Dan, faktornya bukan hanya dari internal si ibu. Para ibu membutuhkan support. Dari sisi kesehatan, support seperti mendapatkan tenaga perawat yang paham tentang laktasi. Termasuk dari sisi kebijakan pemberian cuti melahirkan yang mendukung ASI eksklusif.
Kemajuan teknologi kedokteran membuat proses melahirkan tidak lagi semenakutkan zaman dulu. Operasi sesar menjadi solusi proses melahirkan tanpa rasa sakit, dan bisa kita tentukan sendiri waktunya. Di Amerika, sepanjang tahun 1990-2000, tingkat operasi sesar naik drastis hingga 60%, jika dibandingkan dengan angka tahun 1965. Sesar bukan lagi menjadi opsi medis, ketika ada kondisi komplikasi yang mengharuskan untuk itu. Sesar karena kemauan, seolah menjadi ‘gaya hidup’.
Muncullah gerakan edukasi dan penyadaran kembali, yang mengingatkan bahwa melahirkan normal adalah yang terbaik dan paling alamiah. Rasa sakitnya kontraksi di setiap detik-detik bukaan adalah hal yang kodrati yang dialami setiap perempuan sejak zaman Hawa. Efek dari kampanye dan gerakan penyadaran yang gencar ini, mereka yang melahirkan sesar karena kondisi medis pun menjadi ‘korbannya’.
Di mata para ibu bekerja, IRT adalah sebuah penyia-nyiaan talenta. Sekolah tinggi-tinggi ‘hanya’ untuk jadi sopir antar jemput sekolah anak, masak, cuci dan bersih-bersih. Hal yang bisa dilakukan oleh ART dan sopir bergaji. Perempuan modern sudah seharusnya berkarier, mandiri, berprestasi, produktif, berkontribusi pada ekonomi dan kesejahteraan keluarga, dan sebagainya. Di mata IRT, ibu bekerja adalah ibu yang anaknya tak terurus, egois, sibuk mengejar karier dan melupakan ‘kodrat’. Pandangan keduanya seolah enggak pernah ‘ketemu’. Yang menentukan dalam pengasuhan anak adalah visi pengasuhan. Seberapa besar komitmen dan prinsip orangtua dalam menjalankan visi tersebut.
Baca juga: 5 Anggapan Salah Tentang Ibu Bekerja
Ada lagi perbedaan runcing di kalangan perempuan yang tak kalah tajam, yakni atas urusan peralisan. Bagi mereka yang beralis garis sempurna, memandang, perempuan tak peduli alis adalah golongan yang belum mendapat pencerahan. Menyia-nyiakan karunia Tuhan bernama ‘kecantikan’. Mereka tidak mau sadar atau tidak mau tahu bahwa alis membuat perubahan besar dalam hidup seorang perempuan. Alis membantu menonjolkan mata, membentuk wajah, dan memainkan peran yang kuat dalam komunikasi. Tentu saja, tidak semua orang dilahirkan dengan alis berbentuk sempurna, karenanya butuh intervensi untuk mendapatkan tampilan keren secara estetika. Alis harus dipangkas, dibentuk, dan ‘digambar’ secara rutin.
Di mata mereka yang tak pernah menyentuh alis, alias para perempuan beralis bak rimba belantara, “Ini kenapa ya, sibuk ngurusin alis. Macam enggak ada kerjaan aja.” “Emang ngaruh ya. Sama aja, kok.” “Cari waktu buat mandi saja sulit, gimana harus garisin alis berjam-jam?” “Default ciptaan Tuhan sudah sempurna dari sononya.”