Bicara politik dan pemerintahan, rasanya sampai sekarang masih sangat lekat dengan dunia laki-laki. Padahal, perempuan wajib melek soal politik.
Michelle Bachelet, Presiden Chili periode lalu (2014-2018), berucap “When one woman is a leader, it changes her. When more women are leaders, it changes politics and policies.” Jelas sekali kalau perempuan harus melek dan terlibat dalam urusan politik karena sangat berkaitan dengan kebijakan negara.
Indonesia juga sebetulnya tidak tinggal diam. Isu keterwakilan perempuan sebetulnya sudah cukup diangkat dengan syarat dalam UU Pemilu yaitu harus ada 1 perempuan di antara 3 bakal caleg laki-laki. Ya tetap tidak 50:50 dan hanya 20 parpol yang lolos verifikasi KPU. Tetap saja perempuan jadi warga kelas dua huhu.
Tapi jangankan jadi caleg ya, diajak bicara politik saja banyak yang alergi. Tak heran kan jadinya kalau sampai jadi ada yang merasa harus menyisipkan isu agama atau bahkan masuk ke pengajian-pengajian demi isu politik didengar oleh ibu-ibu.
Saya paling kesal dengan stereotype “ibu-ibu mana ngerti politik” atau “ibu-ibu nontonnya sinetron sih bukan berita”. HUUUU NYEBELIN. Nyebelin karena stereotype itu datang dari kondisi yang benar dan sedikit sekali yang mau mengubahnya.
Sekarang saya tanya deh, pemilu nanti kita akan memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, dan DPD.
Sudah tahu calonnya? Sudah tahu latar belakangnya? Sudah tahu bedanya memilih nama dan memilih partai? Sudah memeriksa nomor urut 1 di kota-kota besar? Karena caleg di nomor urut 1 hampir pasti bisa maju, jadi sudah yakin pada partai atau caleg yang akan maju?
Kenapa ini begitu penting, karena sangat berkaitan dengan alasan kedua yaitu:
Iya karena peraturan 30% itu hanya berupa caleg saja. Selanjutnya yang terpilih dan duduk di kursi DPR belum tentu mencapai 30%.
Makanya kita harus lebih melek urusan politik ini dan sebisa mungkin memilih caleg perempuan yang memang berkualitas. Karena mereka-mereka ini yang nantinya mewakili kita membawa isu soal perempuan, keluarga, anak-anak dan meramunya jadi kebijakan.
Kalau yang terpilih sedikit sekali perempuan, plus dengan latar belakang yang kurang jelas, ya percuma juga. Keterwakilannya jadi tidak ada. Jadi yuk coba cari tau lebih banyak soal ini.
(Baca: Alasan Basi Tak Ikut Pemilu dari Najwa Shihab)
Tapi kalau sebatas bicara caleg, jujur saya sih stres banget. Selain sebagian besar kakek dan nenek (well, kebanyakan memang seumuran ayah ibu saya yang sudah punya cucu), banyak pula yang latar belakangnya memang tidak meyakinkan.
Kasarnya, kalau mereka apply CV di kantor untuk menjadi tim saya saja saya bisa ragu karena yaaa banyak yang lulusan SMA, tidak punya pengalaman di organisasi atau pemerintahan, dan banyak lagi. Banyak pula yang bahkan tidak bisa disearch visi misinya.
Ya, agar mereka tahu bahwa perempuan juga bisa setara dengan laki-laki. Bahwa perempuan juga berhak punya kesempatan yang sama dengan laki-laki dan duduk di posisi strategis dalam pemerintahan.
Like our idol Jacinda Ardern! Jacinda adalah perdana menteri Selandia Baru pertama yang hamil dan melahirkan dalam jabatannya, ia bahkan membawa bayinya ke sidang PBB. Ia juga jadi pemimpin dunia kedua yang melahirkan setelah Benazir Bhutto. Bayangkan sebangga apa anaknya kelak. Her mom is running a country while breastfeeding!
Jadi yuk, belajar agar tidak apatis lagi pada politik. Perempuan harus melek politik agar bisa membuat negara lebih ramah pada perempuan.
Who run the world? Girls!