Sogok menyogok untuk bisa dapat sekolah favorit atau kantor idaman ternyata tak hanya terjadi di Indonesia. Sebuah bentuk sayang anak yang kebablasan.
Hari ini bintang Desperate Housewives Felicity Huffman disebut menyogok sebesar US$ 15ribu atau sekitar Rp 213juta untuk anaknya masuk perguruan tinggi. Felicity bersama lebih dari 40 orang lainnya (termasuk para CEO perusahaan besar dan desainer fesyen) kini diinvestigasi karena jelas perbuatan itu melanggar hukum.
Universitas tujuan pun bukan universitas ecek-ecek. Dilansir BBC News, mereka menyogok Stanford, Yale, dan Georgetown untuk bisa masuk. Bahkan menggunakan joki untuk tes SAT!
Akrab sekali ya cerita semacam ini dengan keseharian kita. Teman saya, seorang manajer bank BUMN berkali-kali ditelepon oleh orang-orang yang posisinya lebih tinggi untuk menitipkan anaknya lewat jalur development program. Tentu teman saya menolak.
Ayah saya juga sering mendapat pengalaman serupa. Beliau dosen dan sering sekali mendapat kunjungan teman yang anaknya duduk di bangku SMA yang berakhir bertanya apakah bisa anaknya “dititipkan” untuk masuk Unpad? Kalau bisa perlu bayar berapa?
Tentu selalu ditolak karena duh, pertama ini masalah nama baik. Kedua, kalau memang anaknya pintar, tidak dititipkan juga seharusnya masuk toh? Kalau tidak masuk ya tandanya memang tidak mampu. Lha saya anaknya saja belajar sampai nangis-nangis kok demi keterima SPMB.
Kalau dipikir lagi, ini jelas adalah sayang yang kebablasan. Merasa harus memberi segalanya pada anak dengan menghalalkan segala cara.
Atau juga bentuk kekhawatiran, khawatir anak kecewa, khawatir anak tidak sukses. Padahal coba tanyakan diri sendiri, apa mungkin kita sebagai orangtua yang takut kecewa? Yang takut merasa gagal mendidik karena anak tidak diterima di universitas idaman?
Hal-hal seperti ini juga harus dibiasakan sih. Coba ketika anak kecil, apakah kita tidak pernah membiarkan anak jatuh dan tahu rasanya sakit? Apakah tidak pernah membiarkan anak menyelesaikan masalah sendiri dan selalu langsung menghubungi orangtua teman yang punya masalah?
Apakah selalu mengantarkan barang tertinggal di rumah sehingga anak tidak perlu menerima konsekuensi di sekolah? Kalau jawabannya ya, hati-hati pada sayang yang kebablasan.
Sayang boleh tapi sejatinya punya anak adalah melatih mereka untuk hidup mandiri, terpisah dari kita. Cepat atau lambat, mereka pasti punya kehidupan sendiri dan mereka harus bisa bertahan hidup tanpa kita orangtuanya.
Jadi, sudah melakukan apa agar tidak sayang kebablasan?