Conscious berarti sadar. Melakukan apapun dengan sadar dan “terjaga” sepenuhnya biasanya membuat kita lebih fokus dan bisa melakukan hal itu dengan baik.
Conscious parenting atau mindful parenting adalah cara untuk membesarkan anak dengan sadar. Agar kita bisa menghadapi anak dengan sisi terbaik kita dan tidak melulu marah-marah sehingga anak pun tidak balas dengan "bertingkah".
Sebagai orangtua, banyak yang secara tidak sadar hanya melakukan apa yang orangtuanya dulu lakukan. Tidak peduli apakah itu cocok atau tidak dengan karakter anak.
Conscious parenting membuat kita memikirkan dulu baik-baik bagaimana pengalaman masa kecil kita dan bagaimana itu membentuk diri kita sekarang. Apakah ada emosi-emosi yang tidak tersalurkan saat kecil sehingga kita sekarang tidak bisa membesarkan anak dengan sadar dan sabar?
Conscious parenting juga melibatkan orangtua sebagai contoh yang baik untuk anak. Ketika anak bertindak agresif dan senang berteriak padahal usianya sudah di atas 3 tahun, mungkin saatnya untuk refleksi diri, apakah anak jadi cerminan dari diri kita yang juga “agresif” dan meneriakinya ketika tidak sabar?
Dalam conscious parenting, rangtua juga harus bisa mengelola emosi sehingga bisa menanggapi anak dengan kalem. Karena kadang anak melakukan hal yang menurutnya tidak salah namun kita terlanjur marah.
Misal anak sedang menggambar dengan cat air. Perlahan, ia mulai menggambar di lantai dan bukannya di kertas. Apa reaksi pertama kita? Jika kita langsung berteriak memarahinya, maka itu bukan conscious parenting karena kita bahkan belum memahami apa ya kira-kira tujuan anak? Apakah menggambar di lantai membantunya eksplorasi? Apakah memarahinya akan mengubah keadaan?
Tentu tidak. Jadi sebaiknya kita diamkan saja untuk membantunya mengeksplorasi atau larang dengan baik. Ajak ia membereskan bersama-sama. Bukan dengan cara memarahinya. Itulah conscious parenting.
Yang pertama harus dilakukan adalah mengenali diri sendiri, sadari apa tujuan membesarkan anak serta ingin jadi seperti apa anak kita nanti? Lalu lakukan dengan sadar hal-hal yang mendukung tujuan itu.
Kemudian fokus pada apa yang terjadi saat ini sehingga tidak menumpuk kekhawatiran yang membuat emosi mudah tersulut. Misal anak dianggap tertinggal di kelas dan harus ikut kelas tambahan. Sudah, fokus saja pada kelas tambahan itu dan tidak perlu dulu memikirkan masa depan anak akan berantakan karena ia tertinggal di kelas.
Selanjutnya adalah selalu mengkomunikasikan emosi. Tak usah ragu mengaku pada anak kalau kita sedang marah atau sedih. Sebaliknya pula, ajari anak untuk mengenali emosinya dan buat ia mengkomunikasikannya juga sehingga kita bisa merespon dengan tepat.
Selalu dengarkan dan tanggapi anak, kadang anak yang terlalu banyak bicara itu dianggap menyebalkan. Padahal artinya ia percaya pada kita untuk jadi temannya bicara. Berempatilah pada cerita anak.
Yang terakhir, jangan ragu untuk mengakui kesalahan. Kalau salah ya akui salah dan bukannya marah. Juga jangan ragu untuk minta bantuan karena orangtua juga manusia, kadang butuh waktu sendiri untuk recharge energi dan mengembalikan emosi positif sehingga bisa menghadapi anak dengan baik.