Yakin pihak whatsapp-nya yang salah? Yakin bukan orangtua yang harusnya bertanggung jawab?
Baru-baru ini grup whatsapp saya yang bejibun itu, seperti grup ibu-ibu kelas di sekolah, grup sekolah musik, grup teman SMA, hingga grup PKK (iya, benar Anda nggak salah baca, saya punya grup PKK dan aktif banget, hahaha…), heboh dengan kenyataan bahwa pada aplikasi Whatsapp Messenger terdapat konten pornografi. Wah, langsung semua pada ‘panas’ dan beramai-ramai mengajak sesama ibu melayangkan komplain ke aplikasi yang dipakai jutaan user di Indonesia ini, dan menuntut dihilangkannya konten syur dalam format .gif tersebut.
Butuh banyak tahapan
Jika diteliti, kita membutuhkan beberapa tahapan untuk bisa sampai ke konten porno yang dihebohkan itu. Yuk, coba kita simulasi.
Tahap 1: Buka aplikasi whatsapp
Tahap 2: Pilih kontak atau grup chat untuk mengirimkan pesan
Tahap 3: Pada android tap emoticon smile di kolom chat, sementara untuk iOS pilih tanda + di sebelah kolom chat.
Tahap 4: Pada android buka tanda gif, untuk iOS tap pilihan ‘photo & video library’, di bagian kiri bawah tap tulisan gif.
Tahap 5: Ketik “sex” atau “porn” di kolom search
Tahap 6: Setelah ragam tampilan pornografi muncul, pilih gif yang ingin dikirimkan.
Ehem…sekarang pertanyaannya:
Mampukah balita melakukan tahapan-tahapan di atas?
Bagaimana dengan anak-anak usia sekolah, apakah mereka terpikir untuk melalui tahapan-tahapan tersebut sehingga tanpa sengaja terpapar dengan konten porno?
Bagaimana dengan anak-anak pra-remaja?
Sudahkah mereka paham dan fasih untuk menemukan dan (gawatnya) mengirimkan konten-konten tersebut ke teman-temannya karena iseng?
Jawaban Anda berhubungan dengan poin-poin berikutnya.
Kok, bisa mengetik keyword “sex”?
Lihat lagi di tahap ke-5 poin satu di atas. Untuk mengakses konten pornografi di aplikasi Whatsapp, perlu ada usaha mengetik keyword ‘sex’ atau ‘porn’ di kolom search. Oke, jika Anda khawatir balita Anda terpapar, coba tanyakan diri sendiri lagi, kira-kira mungkin nggak anak sekecil itu tahu keyword syur tersebut?
“Wah, jangan salah, kids zaman now sangat digital native, bukan nggak mungkin mereka bisa melalui alur dari tahap 1 hingga 4,” kata seorang teman. Okelah, anggap kondisi tersebut mungkin terjadi. Tapi kalau sampai balita BISA mengetik keyword ‘terlarang’ tersebut, yang harus Anda pertanyakan adalah, apa yang pernah ia lihat, rasakan, dan pelajari? Anggaplah balita terlalu kecil. Anggap mereka nggak akan bisa mengetikkan keyword tersebut. Bagaimana dengan anak usia sekolah, yang masih duduk di sekolah dasar? Pertanyaan yang sama pasti muncul lagi, dari mana dia tahu soal keyword “sex” atau “porn”? Nah, kan...
Aturan usia
Hayo…siapa yang nggak ngeh, kalau aplikasi Whatsapp sebenarnya hanya boleh digunakan oleh user yang berusia 13 tahun ke atas? Semua aplikasi smartphone, layanan surat elektronik, serta media sosial, memiliki persyaratan soal usia yang dibolehkan dalam menggunakan layanan-layanan tersebut. Hal ini tentu mencegah hal-hal kayak gini terjadi. Jadi, sebelum misuh-misuh, cek lagi apakah Anda mengizinkan si kecil yang belum 13 tahun punya aplikasi whatsapp, bikin akun di media sosial, atau memiliki akses email pribadi?
Pada akhirnya pasti terpapar juga
Coba ‘ngaca’ dulu dan pikir-pikir lagi, di usia berapa kita dan pasangan terpapar konten pornografi? Cerita menjadi lebih seru ketika bertanya pada para pria. Di usia berapa mereka mulai mimpi basah, masturbasi, dan mengakses konten pornografi? Beberapa teman pria menjawab di usia 11, 13, bahkan ada yang menjawab 9 tahun. Wew… Akses konten syur biasa mereka dari buku stensilan hasil numpang baca di toko buku Senen, kaset video yang disimpan di posisi paling ujung belakang lemari bokap, VCD yang dijual di Glodok, dan sumber-sumber kreatif lainnya. Ada pula yang mengaku, sambil baca sobekan buku Enny Arrow, beliau bermasturbasi. Jijik? Jangan. Inilah realita. Pada akhirnya mereka akan terpapar juga. Ini alamiah dan naluriah, kok. Jangan khawatir.
Penting Anda pahami, anak di usia sekolah hingga pra-remaja, pelan-pelan akan mulai menyadari seksualitasnya, hingga menimbulkan rasa ingin tahu yang besar pada hal (yang dianggap) tabu tersebut. Menurut para pakar psikolog, usia yang tepat untuk memulai pendidikan seks adalah di usia 7 tahun. Jadi intinya, pembekalan diri anak soal seks harus cukup. Hindari untuk mengategorikan seks sebagai hal yang tabu, sehingga pembicaraan mengenai hal tersebut cenderung selalu dihindari. Jadilah sahabat anak ketika membicarakan soal seks. Lebih baik dia tahu duluan dari kita, kan, daripada dari teman-temannya?
Secara undang-undang, Whatsapp mungkin memang salah karena menyediakan layanan berkonten pornografi. Tapi, sebagai orangtua, kita juga harus membekali anak-anak soal seks. Berikan ekstra perlindungan untuk anak-anak di usia balita atau usia sekolah ketika menggunakan smartphone. Install child lock di smartphone, atau kontrol secara berkala jika Anda mengizinkan anak punya smartphone. Ingatlah, tanpa Whatsapp pun, akses pornografi juga mudah diakses kalau mereka mau. Mungkin saja dari Google, youtube, instagram, facebook, atau nobar streaming di rumah teman. Jadi yang paling penting apa? Sudah tahu jawabannya, kan? Ada di atas, kok ;)