Sorry, we couldn't find any article matching ''
Ibu dan “Ibu” dalam film “Pengabdi Setan”
Joko Anwar melalui “Pengabdi Setan” mengingatkan saya, ibu yang seolah-olah hadir akan melahirkan sosok “Ibu” dalam “Pengabdi Setan”, ada namun tiada; berhenti sebagai sosok di luar kehidupan nyata. Kita sebut apakah sosok seperti ini? Ya, hantu.
Sudah menonton film ‘Pengabdi Setan’ karya Joko Anwar? Kalau belum dan berniat menonton, sebaiknya hindari membaca tulisan ini karena the internet is dark and full of spoilers. Silakan lanjutkan membaca dengan menanggung resiko masing-masing ya!
Film “Pengabdi Setan” memiliki tokoh “ibu” sebagai tokoh sentral. Peran mengasuh, merawat serta melindungi keluarga tidak bisa dilakukan oleh Ibu karena ia menderita penyakit misterius yang membuatnya terbujur kaku di tempat tidur. Ibu memiliki empat orang anak. Yang tertua dan sudah dewasa bernama Rini yang mengambil alih peran ibu mengurus keluarga. Anak kedua bernama Toni yang banyak membantu dalam mengurus ibu sementara dua adiknya masih kecil-kecil. Dua orang dewasa lain dalam rumahtangga di film “Pengabdi Setan” adalah ayah dan nenek; ibu dari ayah.
Kengerian di film ini berasal dari tokoh ‘Ibu” yang setelah meninggal kembali dari alam baka dan meneror keluarganya. Pertanyaannya, mengapa seorang ibu merasa perlu kembali dari kubur untuk meneror keluarganya? Bukankah ini bertentangan dengan insting naluriah seorang ibu; yang seharusnya melindungi dan merawat keluarganya?
Image: Tribun Jabar
Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita melihat sejenak bagaimana masing-masing posisi perempuan dalam keluarga. Sesuai dengan harapan sosial masyarakat, kesuburan organ reproduksi perempuan menjadi syarat utama terbentuknya keluarga secara biologis. Sesudah fungsi biologis tersebut, ekspektasi sosial berikutnya adalah peranan merawat, mengasuh hingga sampai derajat tertentu; melindungi anggota keluarga terutama anak-anak.
Di film “Pengabdi Setan”, karakter “Ibu” ditampilkan gagal memenuhi ekspektasi tersebut. Tokoh “Ibu” merasa kesuburannya bermasalah sehingga ia bergabung dengan sekte pemuja setan agar rahimnya bisa dibuahi. Kemudian “Ibu” jatuh sakit sehingga ia tidak bisa merawat, mengasuh serta melindungi anak-anaknya. Dua perempuan lain, yaitu Rini dan Nenek, yang mengambil alih fungsi-fungsi ini dari “Ibu”.
Di film kita bisa melihat Rini menjalankan fungsi mengasuh dan perawatan dalam mempersiapkan makanan untuk seluruh keluarga serta mengurus adiknya yang jatuh sakit. Nenek, karena mobilitasnya terbatas, tetap menjalankan peran pengasuhan dengan bermain bersama Ian dan Bondi. Rini mengorbankan pendidikan tingginya agar bisa mengurus keluarga. Dan Nenek, sesudah kematiannya, kembali lagi ke dunia menjalankan peran dalam melindungi pada keluarga yang ia tinggalkan.
Di sini akhirnya kita berbicara tentang kewajiban perempuan berkomitmen pada keluarga. Rini berkomitmen untuk mengurus keluarganya sehingga rela meninggalkan bangku kuliah. Nenek berkomitmen untuk melindungi keluarganya sehingga ia kembali dari alam baka untuk memenuhi fungsinya sebagai ibu yang melindungi. Dan Ibu? Karena komitmennya pada kewajiban melahirkan anak sebagai seorang perempuan, ia bergabung dengan sekte pemuja setan demi berjalannya fungsi biologisnya sebagai seorang ibu.
Film “Pengabdi Setan” secara halus memberi makna dalam bagi para ibu yang menjadi penonton. Menjadi ibu berarti produktivitas rahim berjalan dengan lancar dan apabila tak kunjung mengandung; beban tersebut menjadi milik si istri; bukan pada suaminya. Tokoh “Ibu” menempuh jalan terjal ini; demi menyandang peran ibu. Yang patut digarisbawahi, dalam film “Pengabdi Setan” sama sekali tidak memperlihatkan inisiatif serupa dari si ayah; kecuali memang hal tersebut disengaja untuk kepentingan plot film berikutnya.
Lebih lanjut terlihat tokoh-tokoh perempuan di “Pengabdi Setan” mengorbankan dirinya demi konsep keluarga yang utuh. Bagi “Ibu”, keluarga berarti mengandung dan melahirkan anak-anak. Untuk Rini, arti keluarga adalah mengurus dan merawat para anggotanya; meski untuk itu ia mengorbankan masa depan pendidikannya. Bagi Nenek, keluarga berarti kewajiban saling melindungi; walaupun untuk itu ia harus mengorbankan kasih sayangnya pada anggota keluarga yang lain. Jangan lupa, kembalinya “Ibu” meneror keluarganya pun ternyata motifnya pun demi keutuhan keluarga,-yaitu mengembalikan salah seorang anggotanya ke “keluarga” yang sebenarnya.
Pada akhirnya kita diingatkan lagi mengenai horor sebenarnya. Bagi keluarga, absennya ibu yang berfungsi total dan penuh kasih sayang adalah kengerian yang amat sangat. Kekosongan akibat absennya ibu yang hangat, perhatian dan penuh kasih pada keluarga akan menghasilkan ruang kelam dan dingin di jiwa anak-anak. Sebagai ibu, saya merasa berterima kasih pada Joko Anwar karena melalui karyanya kita diingatkan kembali mengenai peran dan kehadiran sebagai pengasuh, perawat dan pelindung keluarga; baik secara fisik maupun mental. Fungsi mengasuh, merawat dan melindungi keluarga bisa tergantikan secara fisik namun kepribadian ibu yang nyata hadir akan sangat mewarnai interaksi yang terbangun dalam pelaksanaan peran-peran ini.
Ketiadaan kehadiran fisik bisa memiliki justifikasinya masing-masing; namun keberadaan yang kosong meskipun bersama anak-anak hanya akan menciptakan bayang-bayang belaka. Joko Anwar melalui “Pengabdi Setan” seolah mengingatkan saya, ibu yang seolah-olah hadir akan melahirkan sosok “Ibu” dalam “Pengabdi Setan”, ada namun tiada; berhenti sebagai sosok di luar kehidupan nyata. Kita sebut apakah sosok seperti ini? Ya, hantu.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS