Ada baiknya jangan nyinyir dan langsung menyalahkan penulis dan penerbitnya saja. Toh, sebagai orangtua ada hal yang bisa kita pelajari lewat kasus buku ini. Ya, setidaknya buat saya, seorang ibu yang punya anak usia 6 tahun.
Beberapa grup WhatsApp saya kemarin tiba-tiba heboh membicarakan soal buku anak-anak yang judulnya 'Aku Berani Tidur Sendiri'. Iya, grup ibu-ibu mana, sih, yang nggak mengulas dan diskusi soal topik jadi kontroversi di jagad dunia maya? Bahkan akun Instagram Lambe Turah yang memposting soal buku tersebut juga sampai kebanjiran komentar hingga ribuan.
Semalam sebelum tidur saya memang sempat membaca komentar-komentar tersebut. Cuma penasaran saja dengan pandangan orang-orang mengenai hal ini. Yang menyedihkan, ternyata masih banyak banget yang menulis kalimat negatif bahkan cenderung menghakimi penerbit dan penulis. Bahkan ada yang komentar bahwa penulisnya harus dipenjara karena niat merusak generasi bangsa. Ada juga yang bilang kalau buku semacam itu memang nggak layak terbit karena bocah kecil belum butuh pendidikan seks.
Eh, aduh…. gimana? Pendidkan seks nggak perlu buat anak-anak? Maaf, saja… kalau soal ini, jelas saya nggak setuju. Pendidikan seks biar bagaimana pun perlu diajarkan sedini mungkin sesuai dengan usia anak, sesuai dengan pemahaman dan gaya bahasa anak. Hari ini, kok, masih menganggap pendidikan seks tabu? Lupa ya, banyak sekali kejahatan seksual yang bisa saja mengintai anak? Makanya kita perlu membekali anak dengan pendidikan seks. Perlu digaris bawahi, ya, pendidikan seks itu kan bukan mengajarkan anak untuk melakukan hubungan seks.
Sebagai ibu yang punya anak usia 6 tahun lebih, terus terang saja saya khawatir kalau memang anak saya membaca buku dengan konten yang berbau pornografi. Ya, namanya juga anak-anak, mereka senang mencoba dan mengekspolrasi apa yang mereka belum tahu dan bikin penasaran.
Tapi begitu saya membaca konten buku tersebut, yang seakan-akan mengajarkan anak untuk masturbasi, saya lantas ingat hasil wawancara dengan dr. Oka Negara, pengajar di bagian Andrologi. Seksologi Universitas Udayana, yang juga menjabat sebagai sekretaris di Asosiasi Seksologi Indonesia ini mengatakan mengatakan bahwa adalah hal yang sangat wajar jika anak lelaki terlihat ‘menikmati’ sensasi seksual. Pada usia 3 dan 6 tahun sebenarnya merupakan tahapan perkembangan psikoseksualnya. Di mana usia ini anak ada dalam fase falik, atau fase di mana si anak mulai merasakan sensasi seksual di kelaminnya pertama kali.
Baca juga : Ketika Anak Laki-laki Masuk Fase Falik
“Kalau ditelusuri lagi ada tahapan fase-fase sensasi seksual yang berbeda di tahapan perkembangannya. Usia baru lahir sampai dua tahun, sensasi seksualnya di mulut, sehingga disebut fase oral. Usia 2-3 tahun sensasi seksualnya di dubur, sehingga disebut fase anal. Waktu usia 3-5 atau 3-6 tahun sensasi seksualnya di kelamin, yang disebut fase falik tadi, seringkali tanpa disadari dan tidak dipahami dengan baik,” ungkapnya
Selanjutnya, anak-anak pada usia 6 hingga 11 tahun adalah tahapan mereka memasuki fase laten di mana si anak tidak fokus dengan sensasi seksual tetapi lebih banyak di tumbuh kembang fisik dan kognitif (masa sekolah). Dan usia 12 tahun ke atas sudah masuk fase genital, memasuki perkenalan dan tahapan kehidupan seksual sesungguhnya yang ditandai dengan adanya tanda-tanda pubertas, dan sensasi seksual sudah dinikmati di organ-organ seksnya secara sadar.
Makanya jangan heran jika anak lelaki suka main smackdown atau main kuda-kudaan. Tanpa disadari lewat permainan ini mereka sebenarnya juga sedang belajar memahami dirinya sendiri. Lewat penjelasan dr. Oka, bisa saya jadi paham kalau sebenarnya orangtua nggak perlu parnoan. Edukasi serta pemahaman soal perkembangan psikoseksual anak perlu dipelajari.
Balik lagi ke masalah konten buku cerita ‘Aku Berani Tidur Sendiri’ dan ‘Aku Belajar Mengendalikan Diri, perlu diakui kalau buku tersebut memang tidak layak dikonsumi oleh anak-anak. Kecuali memang dengan bimbingan dan dampingan orangtua. Sehingga ketika sedang membaca, orangtua bisa mengarahkan dan tidak menimbulkan persepsi yang salah.
Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S. Psi. sebagai psikolog anak dan remaja juga punya pandangan yang sama. Ia mengatakan, jika dilihat judulnya, ketika orangtua melihat buku tersebut tentu saja bisa mengasumsikan isi buku soal bagaimana menyiapkan cara anak siap tidur sendiri, termasuk mengendalikan rasa takutnya.
“Tapi ternyata kan isinya memang berbeda, ya. Menurut saya buku tersebut memang bukan ditujukan untuk anak-anak, harus didampingi orangtua karena sambil baca buku bersama orangtua bisa menjelaskan bagaimana cara menghandle anak untuk tidak masturbasi. Dalam buku tersebut harusnya memang dijelaskan dan tertulis di cover buku. Jangan juga diletakan di rak buku untuk anak-anak. Biar bagaimana pun, tidak semua anak-anak khususnya balita mengalami masturbasi. Jadi memang perlu lebih hati-hati. Kalau yang membaca anak-anak yang tidak mengalami masturbasi, mereka malah jadi penasaran dan ingin mencoba,” paparnya.
Baca juga : Anak Balita Masturbasi, Wajarkah?
Oleh karena itu, idealnya pembahasan sebaiknya dibukukan dalam buku KHUSUS untuk orang tua sehingga orang tua juga tahu apa yang harus dilakukan ketika mendapati anaknya yg usia balita melakukan masturbasi.
Oh, ya…. Perlu dipahami juga, ya, kalau yang dimaksud masturbasi pada anak balita ini tidak sama dengan masturbasi yang dilakukan oleh anak remaja atau orang dewasa. Jadi jangan parno dan membayangkan hal yang aneh-aneh dulu. “Masturbasi anak balita dengan remaja apalagi orang dewasa tentu saja berbeda. Karena sebenarnya untuk anak balita mereka itu tidak ada niatan, dan jelas saja bukan untuk kepuasan. Biasanya anak balita masturbasi karena tidak sengaja, misalnya karena gatal, atau misalnya untuk anak usia di bawah 12 tahun dilakukan untuk mengurangi kecemasan mereka. Contoh, ketika mereka mau menghadapi ujian,” papar Mbak Vera lagi.
Baca juga : Masturbasi Pada Remaja, Bagaimana Menyikapinya?
Setidaknya buat saya pribadi, dengan adanya kasus buku ini memberikan banyak pelajaran. Saya sebagai orangtua perlu lebih mawas diri terhadap konten-konten pornografi yang bisa dilihat atau diakses oleh anak. Ini kan memang kewajiban dan tanggung jawab utama kita, jadi nggak perlulah sampai menghakimi penerbit dan penulis. Selain itu, saya pun nggak bisa menutup mata kalau pendidikan seks perlu diajarkan sedini mungkin. Dimulai dengan mengajarkan anak mengenal anggota tubuh, bagaimana mereka bisa menghargai dirinya sendiri, termasuk juga perlunya menjaga organ intim, memahami mana area yang boleh disentuh, mana yang tidak.
Umh... Ada yang mau menambahkan pelajaran apa yang mommies bisa ambil lewat kasus buku ini?
Baca juga : 6 Hal yang Harus Diajarkan Ayah pada Anak Lelakinya