Belajar Untuk Tidak Salah Kaprah Menjadi Orangtua

Parenting & Kids

adiesty・25 Jan 2017

detail-thumb

Mulai sering merasa kesulitan mengendalikan anak? Anak sering merengek dan sulit diajak diskusi? Tunggu dulu. Jangan langsung menyalahkan anak, siapa tahu kesalahan sebenarnya karena pola asuh kita yang keliru. Yuk, sama-sama belajar untuk tidak salah kaprah jadi orangtua.

Pernah nggak merasa gagal menjadi orangtua? Umh, mudah-mudahan nggak perlu sampai merasa gagal, ya. Kalau pun merasa kecewa atau bertanya-tanya kenapa tingkah dan polah anak nggak sesuai ekspektasi, rasanya wajar saja.

Mungkin sama seperti pasangan lainnya, salah satu topik yang dibahas kalau lagi ngobrol berdua nggak jauh dari masalah anak. Entah ngomongin perkembangan anak, bagaimana sekolahnya, sampai mengulas soal pola asuh yang sudah kami lakukan bersama. Suatu kali, suami pernah tanya, "Dis...  menurut kamu, gimana sih, dengan pola asuh yang sudah kita terapkan ke Bumi? Sudah pada track-nya, atau malah kebablasan?”

Iya, sebagai orangtua saya dan suami memang takut kalau sampai salah mendidik anak, baik soal kecerdasan emosi anak ataupun pendidikan karakternya. Maunya kan anak bisa lebih baik dari orangtuanya dalam berbagai hal, baik ilmunya, pendidikannya. Hal apapunlah!

Sayangnya, pada praktiknya sebagai orangtua saya sadar pernah salah kaprah menerapkan kasih sayang. Atas nama sayang sama anak, justru malah bikin anak nggak mandiri, bikin anak nggak bisa menghadapi dunia yang sebenarnya. Mau menerapkan pola positive parenting, malah salah kaprah.

Contohnya, nih, selama menyandang status jadi ibu selama hampir 7 tahun, saya masih sering kali kurang konsisten. Suka lemah dihadapan anak. Padahal hal ini kan salah banget. Belajar dari pegalaman pribadi, dan berkaca pada pola asuh yang diterapkan orang-orang terdekat, saya menyimpulkan ada beberapa kesalahan yang sering dilakukan para orangtua.

Apa saja?

belajar untuk tidak salah kaprah jadi orangtua

Berbohong kecil

Siapa yang pernah berbohong pada anak? Ah… kalau saya, sih, mau ngaku, kalau saya pernah melakukannya.  Contohnya, nih… sesekali kalau lagi mau kencan sama suami pulang kantor, saya suka bilangnya mau meeting. Habis gimana, kalau bilang mau pergi sama bapaknya, anak saya suka protes. Minta diajak. Padahal sayakan juga butuh waktu berkualitas sama suami :D

Meskipun nggak selamanya bohong kalau sedang pergi berdua dengan suami, tapi yang jelas sebenarnya dengan berbohong ringan seperti ini akan berisko membuat anak kehiangan rasa percaya. Nah, bahaya bangetkan. Jadi kalau nggak kepepet, mending jangan lakukan, deh! Biar gimana, anak juga harus belajar jujur , meskipun memang dia tidak suka.

Menjadikan anak sebagai raja

Pernah nonton film soal raja dan ratu, dong? Nah, biasanya, nih, raja itu maunya selalu dituruti. Orang-oarang bisa tunduk dan patuh dengan perintahnya. Nah, salah satu kesalahan yang cukup familiar menurut saya, sih, menjadikan anak sebagai raja dan ratu.

Maksudnya begini, katika anak menginginkan sesuatu selalu dituruti, anak tidak dibiasakan untuk belajar dari kesalahan. Padahal kondisi seperti ini tentu bisa beraktibat fatal ketika anak sudah besar. Anak perlu tahu rasa kecewa. Atau perlu belajar untuk menerima risiko sehingga ia bisa bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Kalau anak terbiasa menjadi raja dan ratu, sampai besar tentu saja tidak bisa mengendalikan emosinya. Ujung-ujungnya dia akan terus merasa tantrum. Tidak tahu bagaimana mengendalikannya.

Saya ingat, saat ngobrol dengan psikolog anak,  Anna Surti Ariani, MPsi. ia mengatakan bahwa idelanua batas tantrum pada anak sampai anak berusia 4 tahun. Kalau anak berusia di atas 4 tahun masih tantrum tak terkendali,  itu sebenarnya pertanda bahwa ada yang salah dengan pola asuh yang diterapkan.

Mengacuhkan anak

Siapa di antara Mommies yang masih sering mengatakan, “Sebentar ya, nak, Ibu lagi capek banget, nih. Kamu main sendiri dulu aja, ya?” Menurut psikolog anak, Efnie kalimat seperti ini termasuk tindakan mengacuhkan anak, lho. Padahal sebagai anak, tentu mereka sangat merindukan momen kebersamaan ketika kita pulang bekerja.

Jadi tidak heran, kalau si kecil minta ‘jatah’ main ataupun sekadar curhat dengan orangtuanya. Kita tentu tahu, ya, bagaimana rasanya jika diacuhkan oleh orang yang kita sayang dan rindukan? Lantas, apakah tindakan ini tetap akan kita lakukan?

Padahal, dengan memberikan respon dengan berkata, “Nanti dulu, Ibu sedang capek,”  hal ini sama saja kita menolak untuk diajak berkomunikasi. Dan hal ini tentu saja berdampak buruk di kemudian hari, di mana si kecil bisa merasa kapok untuk mengajak ngobrol karena merasa diacuhkan. Penting bagi kita, untuk memiliki waktu yang berkualitas bersama si kecil. Paling tidak sisihkan waktu selama 30 menit setiap pagi sebelum kita berangkat ke kantor, dan 30 menit sebelum kita tidur.

Umh... apa lagi, ya? Ada yang mau menambahkan?